Gus Dur dan Ancaman Kelangsungan Pancasila

Fenomena ancaman kelangsungan Pancasila pernah dinyatakan oleh Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dikatakan Gus Dur;
“Dengan mencegah Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan legitimasi penuh atas pandangannya, tanggungjawab untuk mengorientasikan gerakan agama di Indonesia sekarang ini, pindah ke tangan pemerintah. Jika pemerintah gagal, maka dalam waktu 10 tahun, kekuatan mereka yang tidak menerima ideologi nasional akan tumbuh, dan akan mengancam Republik Indonesia dan Pancasila…. Apa yang tengah terjadi di Al Jazair, kini akan terjadi lagi di sini…dan, jika kecenderungan ini berlangsung terus, suatu negara Islam akan menggantikan negara yang kita punyai sekarang” (KH. Abdurrahman Wahid, 1992).
Gus Dur dan Pancasila
Karakter futuristik pemikiran dan gerakan sosial-politik-keagamaan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang sering sukar dibantah. Pada waktunya, ia benar-benar menjelma dalam kenyataan, setelah tenggelam dalam rentang waktu yang lama dan tanpa disadari. Kita bisa membuktikan kebenaran dari pemikiran Gus Dur di atas.
Tanggal 1 Maret 1992, Gus Dur harus melayangkan surat kepada Presiden Soeharto. Kutipan di awal tulisan ini, merupakan isi dari surat tersebut. Surat dilayangkan karena Penguasa Rezim Orde Baru itu –melalui aparat kepolisian– menjegal pelaksanaan Rapat Akbar Warga NU di Istora, Senayan Jakarta, sehingga jutaan warga NU batal hadir, tertahan di luar Jakarta.
Baca juga: Deradikalisasi Ormas (Organisasi Kemasyarakatan)
Penolakan terhadap Pancasila
Rapat Akbar yang akhirnya hanya dihadiri oleh seratus lima puluhan ribu warga NU memiliki agenda yang sangat besar; yaitu menegaskan komitmen NU terhadap Pancasila dan UUD 1945; dan menyatakan dukungan bagi pemilihan umum yang akan berlangsung dan sidang MPR yang bebas dari keributan.
Tujuan internal Rapat Akbar tercapai, yaitu dalam rangka merayakan Harlah NU ke 66 tahun 1992. Namun, untuk tujuan eksternal, belumlah tercapai. Yaitu, menunjukkan dukungan massa (warga NU) bagi suatu visi Islam Indonesia yang dicirikan oleh adanya keterbukaan, keadilan dan toleransi.
Tujuan eksternal ini bermuara pada sinyal adanya ancaman terhadap kelangsungan Pancasila sebagai ideologi negara dan NKRI sebagai konsensus bersama para pendiri negara. Kita baca bersama yang disiratkan oleh Gus Dur.
Pertama, Gus Dur hendak meyakinkan kepada pemerintah bahwa Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan terdepan dalam menerima Pancasila, mengawal keberlangsungan Pancasila, membentenginya dari ancaman-ancaman yang diprediksikannya akan semakin menguat pada dasa warsa paska 1990-an.
NU lah yang dengan sangat tegas menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan itu bersifat final. Sebagai civil society, NU di bawah kepemimpinan Gus Dur benar-benar meyakinkan kepada peemrintah; bukan NU yang mengancam, melainkan gerakan keagamaan Islam baru yang saat itu mulai masuk ke Indonesia.
Baca juga: Kriminalisasi Ulama
Gerakan Islam sektarian transnasional
Kedua, menyerahkan tanggungjawab kepada pemerintah untuk mengorientasikan gerakan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, yang dicirikan dengan Penolakan terhadap Pancasila. Mereka adalah kelompok radikal yang merongrong Pancasila.
Bagi Gus Dur, ini sangat serius. Kekuatan mereka yang tidak menerima ideologi nasional akan tumbuh, dan akan mengancam Republik Indonesia dan Pancasila. Dasawarsa 90-an ditandai dengan percik-percik gerakan Islam sektarian maupun transnasional di beberapa pelosok tanah air.
Beberapa konflik antar-etnis bernuansa agama mengemuka. Dan puncaknya adalah aksi-aksi teror dan terorisme yang ditandai dengan pengeboman di mana-mana.
Ketiga, dua organisasi keagamaan dan politik, masing-masing Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menyusul berdiri di tanah air dan masing-masing mendapatkan legitimasi dari pemerintah.
Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, berjasa besar bagi tumbuh dan berkembangnya HTI. Terutama HTI, hari ini menjadi representasi gerakan politik Islam yang jelas mengancam kelangsungan Pancasila.
Artinya, proyeksi Gus Dur menemukan titik singgung yang tak terbantahkan. Boleh jadi, pemerintah lalai terhadap tanggungjawab yang pernah disampaikan oleh Gus Dur dan Warga NU.
Keempat, apa yang tengah terjadi di Al Jazair, kini akan terjadi lagi di sini (di Indonesia). Tahun 1992, FIS, Partai Islam yang berbasis Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu di Al Jazair.
Proyeksi Gus Dur tentang adopsi politik Islam ala partai FIS di Aljazair menemukan titik singgung pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Politik pecah belah berbasis isu agama cara Partai FIS meraih suara. Mereka memanfaatkan dakwah dan jaringan Masjid untuk kepentingan politiknya. Dan mereka berhasil.
Mengapa, karena instrumen politiknya tersedia. Termasuk bergabungnya ormas keagamaan Islam dan serangkaian aksi-aksi yang digelarnya. Dan tangan-tangan piawai “menggoreng”nya menjadi alat legitimasi politik bagi pemenangan Cagub-Cawagub yang diusung dan didukungnya. Hingga pemilu Presiden pun tidak bisa lepas dari maraknya isu berbasis agama.
Komitmen NU atas Pancasila
Seandainya Gus Dur masih hidup, pasti akan menyaksikan kebenaran proyeksinya itu. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur di tahun 1992 itu, adalah representasi dari komitmen NU atas Pancasila, kebangsaaan dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1983 NU, melalui momen Munas Alim Ulama NU mencetuskan Deklarasi Hubungan Islam dengan Pancasila.
Deklarasi itu berbunyi;
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan Tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak
NU, adalah satu-satunya Ormas Keagamaan Islam yang sangat tegas dalam hal mengampanyekan bagaimana membentengi dan mempertahankan kelangsungan Pancasila. Sekarang, menjadi tugas kita warga NU untuk menegaskan kembali, dan menguatkan proyeksi Gus Dur untuk waktu yang akan datang.
Sebagai ormas keagamaan Islam, NU punya sejarah panjang hubungannya dengan Pancasila. Peran historis kultural NU sangat strategis dalam mengawal perjalanan republik ini di bawah payung ideologi Pancasila. Sesiapa yang sengaja mengusung propaganda atas ancaman kelangsungan Pancasila, sudah dipastikan akan berhadapan dengan NU.
Hizbut Tahrir mengancam kelangsungan Pancasila
Bahwa ancaman terhadap kelangsungan Pancasila sebagai ideologi negara dan NKRI sebagai bentuk negara yang final, pernah berlangsung. Setidaknya dalam empat dekade sejak tahun 90-an. Modusnya sama; melalui gerakan keagamaan dan (politik) Islam baik melalui aktifitas ormas maupun partai politik.
Terutama adalah gerakan politik Islam ala Hizbut Tahrir. Cara-cara Hizbut Tahrir menolak Pancasila sangat mengancam kelangsungan nilai-nilai ideologi Pancasila di bumi Nusantara ini adalah hal yang nyata.
Pemerintah seperti “mendulang kembali ludah sendiri”. Setelah membiarkan berkembangbiaknya HTI, sekarang baru merasa perlu untuk mengambil tindakan hukum, setelah HTI nyata mengancam Pancasila. Pembubaran HTI yang mengusung Khilafah Islamiyyah oleh pemerintah Presiden Jokowi harus didukung dan ditindaklanjuti dengan langkah hukum yang lebih pasti.
Juga terhadap FPI, yang pergerakannya sarat dengan Politik Praktis Ormas. Terutama jika masih terus menerus mengampanyekan NKRI Bersyariah atau mengampanyekan penolakan terhadap Pancasila. Cuplikan berikut ini adalah salah satu buktinya:
Ketika ditanya “Apa target yang ingin dicapai FPI”?, Ketua Umum DPP FPI Habib Rizieq Syihab menjawab: “NKRI Bersyariah! Artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tunduk dan patuh secara total kepada Hukum Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Hukum Allah SWT, karena tidak ada Tuhan Yang Maha Esa melainkan Allah SWT”. (Majalah Aula, 2013).
Pidato Ir. Soekarno tentang NKRI
Ir. Soekarno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Isi, pesan dan semangat dalam pidato tersebut merupakan pondasi paling urgen untuk mempertahankan bangunan Indonesia saat ini. Dalam bentuk final Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicita-citakan oleh para pendirinya.
Isi pidato Ir. Soekarno itu antara lain:
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua”.
Bentuk final NKRI harus semakin dikuatkan hari ini di masa yang akan datang oleh segenap komponen bangsa Indonesia, sebab NKRI sedang terus menghadapi rongrongan yang semakin serius dan nyata dari dalam.
Terutama oleh gerakan politik Hizbut Tahrir menolak Pancasila. Mereka secara massif dan sistemik mengusung pendirian Khilafah Islamiyah di bumi Indonesia. Penolakan terhadap Pancasila adalah bentuk pembangkangan yang nyata.
Para Founding Fathers kita sudah memberikan landasan yang kuat agar bangsa ini kokoh berdiri sampai akhir zaman. Dasar negara yang menjadi ideologi yakni Pancasila merupakan kekuatan fundamental agar negara kesatuan ini tetap utuh dan tidak bisa digoyahkan oleh gerakan apa pun.
Kalau tidak ada fundamen yang kuat negara kesatuan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke ini akan sangat mudah dipecah belah. Karena memang banyak perbedaan yang harus disatukan. Sejarah membuktikan justru perbedaan itu menjadi kekuatan karena diikat oleh semangat persatuan dan kesatuan.
Toleransi — Gus Dur Seorang Sufi Perawat Toleransi — adalah kunci untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia
Walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, namun ajaran Islam sangat mengajarkan untuk menghormati perbedaan. Agama Islam mengajarkan fakta bahwa Fitrah Kenekaragaman Manusia adalah kehendak Tuhan. Dan bahwa Kebhinekaan Agama adalah Fitrah dari Tuhan juga.
Last but not least, demikianlah artikel opini politik tentang Gus Dur dan Ancaman Kelangsungan Pancasila. Bahwa memang ada kelompok yang menyuarakan penolakan terhadap Pancasila. Mari perhatikan di sekeliling kita. Semoga bermanfaat.