Politik Rekognisi Untuk Kehidupan Beragama
Politik rekognisi sangat diperlukan untuk kehidupan umat beragama. Politik rekognisi adalah bentuk pengakuan yang dituangkan secara resmi di dalam sebuah aturan hukum yang mengikat. Dalam keberagamaan, bermakna pengakuan dari pihak mayoritas atas atau kepada pihak minoritas dan tidak teruntungkan.
Politik rekognisi sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin yang memimpin beragam umat beragama apalagi di wilayah atau daerah yang sering memunculkan ketegangan kehidupan beragama antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas.
Pentingnya penerapan politik pengakuan (politics of recognition) dapat menjadi landasan bagi terciptanya kebersamaan di antara berbagai budaya, kelompok etnis, ras dan agama. Sebab tak adanya pengakuan adalah penindasan, misrecognition is an oppression (Anderson, 2009).
Politik rekognisi menekankan adanya itikad baik dari pihak yang dominan untuk memberi pengakuan kepada pihak-pihak yang secara hak dan kedudukan dicap sebagai minoritas atau disadvantaged groups. Pendek ungkapan, pengakuan mayoritas atas minoritas.
Dengan adanya pengakuan ini, hak dan kedudukan kelompok minoritas diakui, diangkat sehingga setara dengan kelompok dominan, atau sampai batas-batas tertentu pengakuan yang diberikan.
Jiwa toleran seorang pemimpin sangat diperlukan dalam kontekse rekognisi ini. Jiwa toleran tersebut harus hadir dari hati nurani seorang pemimpin, baik secara personal maupun kolektif.
Jika jiwa-jiwa toleran bisa tumbuh dan berkembang, maka politik rekognisi –yang dituangkan dalam kebijakan publik dan dilaksanakan oleh pemerintah secara kolektif- akan menjamin kehidupan beragama yang lebih baik.
Kota Bandung pernah ditetapkan pada rangking lima sebagai “kota intoleran” oleh Setara Instutit. Kota Bandung tidak memenuhi satu dari 4 variabel yang dijadikan ukuran, yaitu:
~regulasi pemerintah (RPJMD dan Perda diskriminatif),
~tindakan pemerintah (pernyataan dan respon dari pemerintah terhadap kebebasan beragama/ berkeyakinan),
~peristiwa intoleransi, dan
~demografi agama (komposisi penduduk berdasarkan agama).
Variabel tersebut, sepenuhnya berhubungan dengan politik rekognisi yang dimanifestasikan dalam sebuah kebijakan publik. Munculnya berulang kali kasus intoleransi dalam kehidupan beragama, memerlukan politik rekognisi yang semakin kuat.
Seorang pejabat, Presiden, Gubernur, Bupati, hingga Camat dan Kepala Desa, adalah pemimpin masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda.
Oleh sebab itu, tidak heran jika mereka menghadiri perayaan-perayaan berbagai macam agama. Kehadiran itu sejatinya menunjukkan pengakuan atau rekognisi terhadap eksistensi mereka sebagai warga masyarakat.
Harapan warga masyarakat yang heterogen berlabuh di hati seorang pemimpin. Atas dasar ini, rekognisi seorang pemimpin murni berkaitan dengan diri dan nuraninya.
Dan itu akan menjadi lebih baik jika didukung dengan politik rekognisi dalam bentuk kebijakan yang mengikat. Demikian artikel opini agama dan politik rekognisi untuk kehidupan beragama. [Semoga Bermanfaat]