Esai Islami

Gus Dur, Seorang Sufi Perawat Toleransi

KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah sosok seorang Sufi, perawat toleransi, dengan kadar keislaman yang melampaui batas-batas formalisme. Dalam bersilam, lebih memilih sisi substansi ketimbang bentuk.

Tasawuf adalah corak keberagamaan Islam yang memberikan ruang batin lebih dominan ketimbang lahir. Pengamalan dan penghayatan keagamaan dengan corak tasawuf  lebih mengedepankan keterhubungan antara manusia dengan Tuhannya yang lebih dekat, melampaui sekat-sekat formalisme. Karenanya, tingkat penerimaan nya terhadap yang berbeda-beda di luar sana juga lebih fleksibel.

Tasawuf menjadi pembeda dengan ekspresi keagamaan Islam lain yang legalistik, formalistik atau bahkan skripturalistik; sebuah artikulasi keislaman yang doktrinal, hitam putih sehingga cenderung intoleran terhadap orang lain dalam ekspresinya, bahkan di internal Islam sendiri.

Menurut Kautsar Azhari Noer (2008), “isi lebih toleran ketimbang kulit”. Baginya, tasawuf adalah pengajaran isi atau inti agama yang tidak tersekat kaku oleh ruang hitam-putih atau halal-haram. Ajaran yang tanpa sekat inilah yang diyakini akan menjadi tali perajut bagi toleransi dan perdamaian dunia.

Pada 2007, The WAHID Institute bahkan pernah melakukan penelitian yang berkesimpulan bahwa “tasawuf adalah tenda besar kedamaian”. Itu sebabnya, perspektif tasawuf menjadi penting untuk merawat toleransi. Pertanyaannya, tasawuf seperti apa yang akan menghantarkan pada toleransi dan perdamaian sesungguhnya?

Secara umum, ajaran dan tipe tasawuf mengajarkan penghargaan pada makhluk Allah Swt, entah apa latar belakang agama, status sosial, suku dan sebagainya. Secara khusus, biasanya ajaran tasawuf dengan dosis tinggi (yang tidak lagi akhlaqi, melainkan falsafi) yang lebih menggiring pada toleransi dan perdamaian.

Humanisme Universal

Habib Luthfi bin Yahya, Rais ‘Aam Jamiyyah Ahluthariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyyah (sebuah perkumpulan Ahli Traiqah dan Pengamal Tasawuf dalam Organisasi Nahdlatul Ulama/NU), pernah menyatakan bahwa

“Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, maka alasan bahwa dia ciptaan Allah SWT saja sudah cukup”.

Pernyataan tersebut juga erat kaitannya dengan toleransi antar umat beragama dari perspektif Islam. Di mana sebenarnya Islam menyediakan banyak ruang bagaimana cara merawat toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Ruang-ruang itu, sepenuhnya bersumber dari Al Qur’an dan Al Sunnah, yang diekspresikan dalam dalam nalar dan sikap sekaligus.

Dalam keyakinan dan nalar Islam, Allah SWT adalah Pencipta Segala Sesuatu. Alam semesta dan seisinya berasal dari Allah Yang Satu, dan itu bermakna bahwa manusia adalah satu. Humanisme Islam kemudian menjadi bersifat universal. Itulah nalar Islami yang paling utama, kaitannya dengan toleransi.

Manusia diciptakan dan dihidupkan dalam satu kesatuan penciptaan, namun tidak lagi dalam satu kelompok tunggal dalam manifestasinya. Manusia tidak lagi menjadi umat yang satu, melainkan menjadi banyak umat / kelompok masyarakat. Meski demikian, harus dinyatakan bahwa manusia tetaplah ciptaan Allah SWT.

Baca juga: Kriminalisasi Ulama

Allah SWT berfirman,

“…..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu sekalian dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Surat Al Maidah:48)

Secara lebih tegas, Allah SWT menyatakan,

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, (Surat Al Hujuraat: 13).

Gus Dur Merawat Toleransi

Sampai di sini, ada empat kata kunci bagaimana nalar Islam sangat mendukung terawatnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya antar umat beragama, melainkan antar sesama manusia.

Pertama, manusia sebagai satu kesatuan ciptaan. Kedua, keragaman umat manusia dengan segala perbedaanya, adalah design Allah SWT. Ketiga, keharusan saling mengenali antar sesama manusia. Dan keempat,  berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Dalam merawat toleransi, nalar saja tidak cukup. Mencukupkan diri pada nalar, apalagi hanya pada teks, justeru berpeluang menimbulkan nalar dan sikap intoleran. Oleh sebab itu, diperlukan konteks dan sikap.

Nalar saja hanya menjadikan toleransi pasif bahkan cenderung eksklusif, sedang sikap perbuatan dan tindakan, akan menjadikan toleransi bersifat aktif.

Gus Dur seorang sufi. Gus Dur perawat toleransi. Dengan nilai-nilai tasawufnya, telah mewariskan bagaimana merawat toleransi yang lebih baik. Pun ketika Gus Dur wanti-wanti tentang Ancaman Kelangsungan Pancasila, karena bagi Gus Dur Pancasila adalah jaminan kehidupan yang lebih toleran.

Nalar dan jiwa seorang sufi diperlukan oleh siapapun yang hendak memimpin beragam umat beragama, karena nilai-nilai tasawuf bisa menjadi wasilah kehidupan umat beragama yang lebih kondusif, toleran dan teposeliro. Demikian semoga bermanfaat.

Author Disclaimer: Artikel opini Islam dengan modifikasi ini, aslinya berjudul Gus Dur, Tasawuf dan Toleransi. Salah satu tulisan di media masa karya Saya sendiri, yang pernah dimuat di Pos Kupang. [Kang Nawar]

Kang Nawar

Hello ! Saya Kang Nawar aka. Munawar A.M. Penulis Freelance. Terima kasih sudah singgah di Blog Artikel Opini, Review & Esai Digital ini. Berkenan kiranya untuk membagikan artikel dan mengikuti saya di media sosial. Terima kasih sudah singgah. Saya berharap Anda akan datang kembali ke blog ini. Terima Kasih.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button