Politik Praktis Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), Bahaya?

Di Indonesia kita mengenal adanya organisasi politik (baca: partai politik) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Dua model organisasi ini merupakan konsekuensi logis sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat.

Terhadap kedua organisasi itu, ada Undang-Undang dan aturan yang mengikat yang dilengkapi dengan sanksi atas pelanggaran yang berpotensi dilakukan. Sesuai dengan nama dan domain kegiatannya, politik dan politik praktis idealnya menjadi wilayah partai politik (parpol) dan tidak semestinya dilakukan oleh ormas.

Tampilnya politik praktis model Organisasi Kemasyarakatan apalagi dengan mengedepankan jargon-jargon dan identitas keagamaan (politik identitas keagamaan). Hal itu berpotensi mengundang bahaya dalam jangka waktu yang pendek dengan jangkauan wilayah yang luas dalam ranah NKRI  dengan Bhinneka Tunggal Ika nya.

Ormas Bukan Partai Politik

Ormas, bisa saja berpolitik, tapi tidak dalam ranah yang praktis. Karena Ormas bukan partai politik. Apa yang bisa kita simak dalam porses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta nampak sekali lebih bernuansa politik praktis ala Ormas daripada politik praktis dari partai politik yang notabene mengusung dan mendukung calon Gubernur-Wakil Gubernur.

Ormas seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI) hingga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terang-terangan menjadi aktor politik praktis dengan mendukung salah satu pasangan calon dengan berbagai macam cara. Dengan tanpa henti menggulirkan isu bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Juga jenis-jenis politisasi agama lainnya untuk memenangkan pasangan calon dukungannya.

Mereka para aktifis Ormas itu, lebih terang-terangan dalam memberikan dukungan dan pemenangan jika dibanding dengan aktifitas dukungan dan pemenangan model partai politik. Peran Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera sebagai pengusung pasangan Anies-Sandi, nyaris tenggelam sampai dengan digelarnya Aksi 313 yang baru berlalu. Ormas dengan aksinya, sudah melampaui praktek-praktek pendulangan suara; berkampanye melebihi porsi yang dilakukan oleh partai politik.

Siapa bisa membendung asumsi bahwa Ormas-Ormas tersebut telah nyata “dimanfaatkan” secara politik untuk memperebutkan kekuasaan? Siapa pula bisa mengelak bahwa Ormas-Ormas tersebut telah nyata melakukan politik praktis yang bukan wilayah kegiatannya?

Pelanggaran oleh Ormas

Ormas yang menjadi pressure group pemenangan salah satu paslon sudah melampaui batas-batas jati diri keormasan dan melanggar Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Ormas, seperti termaktub dalam Pasal 59 ayat (2), (3) dan (4) UU tersebut.

Pertama, larangan yang dilanggar nampak dalam kegiatan Ormas dengan; melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama di Indonesia. Kedua, melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca juga: Politik Rekognisi Untuk Kehidupan Beragama

Ketiga, melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Praktek pressure atas persidangan Basuki Tjahaya Purnama melalui beberapa kali aksi ada dalam bingkai pelanggaran ini.

Dan Keempat, Ormas tersebut nyata menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Propaganda “Jakarta Bersyariah“, “NKRI Bersyariah” atau slogan “Indonesia Berkhilafah” yang menjadi bagian dari agenda Ormas tersebut, jelas melanggar Undang Undang Ormas.

Bahaya Politik Praktis Ormas

Bahaya yang sudah nampak adalah merenggangnya kohesifitas internal-umat beragama gegara perbedaan pilihan politik. Apa yang terjadi di DKI Jakarta sangat berpotensi diduplikasi dan didesain (untuk terjadi) di wilayah lain, mengingat sifat praktisnya sebuah kegiatan politik berupa perebutan kekuasaan melalui momentum Pilkada.

Jika hal itu terjadi, maka perpecahan antar-komponen bangsa dan runtuhnya sendi-sendi bangunan bangsa merupakan puncak dari bahaya.

Pertama, mengembalikan mekanisme pilkada pada track-nya, dengan memaksimalkan peran partai politik sebagai aktor utama dalam kontestasi perebutan jabatan politik dan kekuasaan. Partai politik tidak memanfaatkan dan memberikan akses proses politik kepada Ormas.

Terlebih kepada Ormas yang nyata-nyata membawa visi dan misi yang berpotensi merusak sendi-sendi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Partai politik harus mengedepankan isu yang konstruktif bagi pasangan calonnya.

Kedua, pimpinan dan anggota Ormas yang berpolitik praktis harus menyadari bahwa cara yang paling tepat dalam berpolitik-praktis itu melalui partai politik. Harus jujur dan berani mengambil sikap tegas dalam menjaga jarak yang tepat antara Ormas dengan Partai Politik.

Bukan sebaliknya, dengan terang-terangan mempolitikpraktiskan kegiatan Ormasnya dengan mengedepankan isu SARA. Atau dengan mengambil langkah murahan, “menjual diri Ormas” kepada Partai Politik dengan memberikan dukungan suara namun mengabaikan fatsoen berpolitik.

Ketiga, menegakkan UU tentang Ormas setegak-tegaknya termasuk pemberian sanksi yang adil demi terwujudnya demokrasi yang sehat dan konstruktif yang telah menjadi kesepakatan para pendiri NKRI.

Ormas harus menyadari bahwa seluruh kegiatannya sudah ada aturan mainnya dan terdapat sanksi bagi pelanggarannya. Mengambil sikap dan tindakan yang terjamin oleh iklim demokrasi tidak lantas mengabaikan aturan main yang ada.

Keempat, para pemimpin Ormas dan partai politik seyogyanya bisa tampil secara adil, berkolaborasi menjadi peneduh umat dengan mengedepankan statmen-statamen yang menyejukkan.

Menghindari bentuk-bentuk konfrontasi verbal oleh para pendukungnya. Yang justeru merongrong keteguhan pilar-pilar demokrasi dan sendi-sendi kebangsaan.

Tanggungjawab MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi sorotan tajam selama proses pilkada DKI Jakarta. Sebagai Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, MUI nyata “terlibat” urusan politik, sungguhpun bisa tidak secara kelembagaan, melainkan personalnya.

Sesuai “Khittah”-nya, MUI didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Kita bisa mengenali bagaimana marwah dan muru’ah MUI yang sangat tinggi. Bukan semata secara kelembagaan berisi para pihak Ulama-Zu’ama, melainkan juga tugas kelembagaaan, keislaman, keindonesiaan dan keumatan yang menjadi tanggungjawabnya. Marwah kelembagaan MUI harus senantiasa terjaga dan bebas dari kepentingan politik. Apalagi mengandung anasir pikiran dan ideologi yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Kepada MUI, umat masih menaruh kepercayaan. Umat Islam masih membutuhkan bimbingan dan tuntunan dari MUI. Umat tidak bisa membiarkan kelembagaan MUI menjadi tameng, alat legitimasi dan yang tersusupi kepentingan politik praktis. Sementara Umat juga tidak menghendaki MUI sebagai wadah bersemainya pemikiran dan gerakan Islam radikal.

Tanggungjawab kenegaraan MUI harus steril dari kepentingan politik praktis sehingga MUI harus kembali ke khittahnya. Tanggungjawab tersebut termasuk menjauhkan MUI sebagai alat legitimasi dan corong parapihak yang justeru menghina Pancasila. Melecehkan kebhinekaan dan mengancam kesatuan dan persatuan umat Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian artikel opini politik. Memang benar, ormas, organisasi kemasyarakatan bukan partai politik. Namun, fenomena ormas berpolitik praktis itu nyata adanya. Semoga artikel ini bermanfaat.

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X Twitter juga Instagram dan Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button