Halal bi Halal Menurut Tuntunan Hadits, Bagaimana?

Bagaimana cara halal bi halal menurut tuntunan hadits? Mengapa pula halal bi halal dilaksanakan di bulan syawal?

Mari kita lihat dulu permasalahan terkait. Apakah halal bi halal termasuk tradisi (adat istiadat), apa bukan? kebudayaan apa bukan? Apa yang sudah diperintahkan Agama Islam dengan jelas bukanlah adat istiadat lagi namanya. Juga bukan kebudayaan. Adat istiadat dan kebudayaan sumbernya adalah pemikiran manusia dan bersifat kedaerahan saja.

Sebuah perumpamaan. Kalau orang Indonesia membuat Masjid menghadap ke timur, menguburkan jenazah membujur ke utara dengan kafan selalu putih itu bukan adat istiadat dan bukan kebudayaan, tetapi berdasarkan tuntunan islam.

Walaupun jika orang mencari dalil yang memerintahkan  mengubur jenazah membujur ke utara pasti tidak akan mendapatkan. Sebab, perintah Agama adalah mengubur mayat dengan menghadapkan ke Ka’bah yang menjadi kiblat Umat Islam di kala hidupnya dan di kala matinya.

Halal bi halal menurut tuntunan hadits

Sekarang, kita perhatikan tuntunan hadits, bagaimana cara melakukan halal bi halal. Kemudian, kita bandingkan dengan praktik pelaksanaan halal bi halal yang dilaksanakan umat islam (dalam bentuk yang asli).

Cara halal bi halal menurut tuntunan hadits :

Pertama, seseorang yang merasa mempunyai kesalahan dengan kawanya, hendaklah ia mendatangi kawanya itu, lalu meminta maaf kepadanya atas kesalahan yang diperbuatnya. Baik kesalahan itu menyangkut urusan harga diri, kehormatan, harta benda, maupun bentuk kesalahan lain.

Kedua, Halal bi halal itu ia lakukan mumpung masih hidup di dunia, agar setelah di akhirat kelak pahala kebaikanya tidak diambil kawanya itu sebagai ganti rugi melanggar haknya ketika di dunia. Bahkan, kalau ia tidak mempunyai kebaikan, atau semula punya tetapi sudah habis diambil orang-orang yang ketika di dunia hak-haknya ia rugikan, ia akan dibebani dosa-dosa mereka.

Baca juga: Menikah Di Hari Raya Idul Fitri Bulan Syawal, Haruskah?

Praktik halal bi halal dalam masyarakat :

Seseorang datang kerumah saudara, sanak famili, tetangga yang muslim, dan kenalan-kenalanya. Ia datang menyampaikan maksudnya, yaitu menyatakan bahwa ia mempunyai kesalahan, melanggar hak-hak adami kepada orang yang didatangi itu, baik dengan disengaja maupun tidak.

Dan untuk itu, ia memohon dengan hormat agar dosa-dosa dan kesalahan terhadapnya itu dimaafkan. Dan sesudah yang didatangi itu menyatakan memberi maaf, sebaliknya, ia pun merasa punya banyak kesalahan terhadap tamunya. Untuk itu, ia juga memohon kepadanya agar kesalahan  dan dosa-dosanya itu dimaafkan.

Sebagai tuan rumah, ia berusaha memuliakan tamunya, menjamu dengan apa yang ada tersedia. Setelah merasa cukup, sang tamu akan memohon pamit untuk meneruskan halal bi halal kepada teman dan tetangga yang lain.

Alangkah indahnya bentuk asli halal bi halal yang telah mereka praktikan. Dan ternyata, sepenuhnya merupakan tuntunan Islam yang benar. Perbedaan yang terlihat ialah ; di dalam hadits di atas permintaan maaf hanya dari satu pihak, yaitu orang yang sengaja datang untuk meminta maaf. Oleh karena itu, ungkapannya falyatahalhu atau fastahallahu.

Sedangkan dalam praktik dimasyarakat, setelah orang yang didatangi memberi maaf, lalu ganti ia yang meminta maaf. Dan, orang yang datang itu pun memaafkan. Oleh karena itu, ungkapannya adalah halal bi halal; pemaafan diimbangi dengan pemaafan.

Halal bi halal dilaksankan pada bulan syawal

Mengapa halal bi halal dilaksankan pada bulan syawal ? Hadits tentang halal bi halal diatas memang tidak menyebutkan waktu tertentu, kapan dilakukanya halal bi halal. Juga tidak menyebutkan bulan syawal sebagai bulan ber halal bi halal.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam at-Turmudzi disebutkan : qabla an yu’khadza, yang artinya, halal bi halal itu hendaklah dilaksankan sebelum datangnya kematian, sebelum dicabutnya nyawa. Begitulah, Imam al-Manawi mengartikan lafal qabla an yu’khadza.

Sedangkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas juga hanya disebutkan al-yauma yang artinya “pada hari ini” ; maksudnya dalam kehidupan di dunia ini. Berdasarkan kenyataan tersebut maka waktu halal bi halal adalah longgar dan seseorang bebas menentukan.

Adapun  pemilihan dan penentuan dari pelaksanaan halal bi halal pada bulan syawal adalah didasarkan pada petunjuk hadits  yang menyatakan bahwa  dosa hamba kepada Tuhannya terjadi karena hamba melanggar hak-hak Allah, misalnya karena tidak melaksanakan perintah Allah.

Dosa macam ini, kalau Allah mau, akan mengampuninya. Dosa hamba kepada sesamanya terjadi karena hamba itu tidak melaksanakan hak-hak manusia (hak adami). Tentang dosa yang tidak ada pernyataan memaafkan maka akan di qishash, diselesaikan urusanya di akhirat. ( Mukhtar al-Hadits karya Sayyid Ahmad al-Hasyimi, hlm.90).

Baca juga: Memelihara Silaturahmi dan Menjaga Tradisi Halal Bi Halal

Bahwa orang yang berpuasa Ramadhan dengan dasar keimanan dan keikhlasan karena Allah semata-mata, dosanya yang sudah-sudah akan diampuni Allah. Yaitu dosa yang terjadi karena pelanggaran terhadap hak-hak Allah.)sesuai dengan hadits;

“barang siapa berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah terdahulu .” (HR.Imam Bukhari dari sahabat Abu  Hurairah / Shahih Bukhari, Hadits no.1.768 dan Shahih Muslim,Hadits no.760)

“tidak ada pemberian orangtua kepada anaknya yang lebih baik daripada akhlak (budi pekerti) yang bagus.” (HR.Imam Ahmad, at-Turmudzi)

Jadi, dipilihnya halal bi halal secara umum pada bulan syawal bertujuan agar dosa-dosa kita yang berpuasa dan berhari raya itu benar benar terhapus semuanya, baik dosa yang berkaitan dengan hak Allah maupun dosa yang berkaitan dengan hak adami.

Sehingga, kita benar-benar dapat disebut ber-‘Idul Fitri yang artinya “kembali menjadi suci” yang dalam hadits diungkapkan dengan redaksi kayaumi waladathu ummuhu : seperti keadaan ketika dilahirkan ibunya, tidak mempunyai dosa apa-apa.

Jelasnya, dengan berpuasa Ramadhan yang dilandasi keimanan dan keikhlasan, dosa-dosa kita kepada Allah diampuni, sedangkan dengan ber-halal bi halal, dosa kita terhadap sesama juga diampuni.

Kemudian, mari kita renungkan sabda Rasulullah Saw :

“hai sahabat-sahabatku, tahukah kalian, siapa yang disebut orang bangkrut  (jatuh pailit) itu ? “ mereka menjawab : “orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang sudah tidak mempunyai uang, juga tidak mempunyai barang-barang dagangan lagi.” Sabda Rasul : “yang disebut Orang yang bangkrut diantara Umatku ialah Orang yang datang kepada Allah pada Hari Kiamat kelak dengan membawa pahala Shalat, pahala Puasa, dan pahala Zakat, namun disamping itu  ia juga datang dengan membawa dosa mencaci maki orang, dosa menuduh orang lain berzina, dosa memakan harta orang, dosa menumpahkan darah (membunuh orang), dan dosa memukul orang. Maka, ditegakkanlah keadilan dengan cara : kepada si fulan ( yang didzalimi) diberikan pahala kebaikan (orang yang mendzalimi). Jika pahala dari amal-amal kebaikanya sudah habis sebelum dapat terlunasi tanggunyanya maka orang-orang yang tidak kebagian pahala kebaikan darinya mengambil dosa mereka, lalu, karena banyaknya dosa-dosa yang dipikulkan kepadanya, ia dilemparkan kedalam neraka .”(HR.ImamMuslim, Ahmad, dan at-Turmudzi dari sahabat Abu Hurairah / Shahih Muslim, Haditrs no.2.581 ; Musnad Ahmad, Hadits no. 8.487 ; dan Sunan at-Turmudzi, hadits no.2.342).

Oleh karena itu, seseorang  harus berhati-hati, jangan merasa rajin beribadah, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, lalu meremehkan dosa-dosanya terhadap sesama, tidak mau ber-halal bi halal, tidak mau meminta maaf kepada sesamanya. Dalam hal ini kita tidak boleh semena mena dan berbuat terserah kita.

Menghilangkan dosa yang terjadi diantara sesama manusia (dosa atas hak adami) lebih sulit daripada menghilangkan dosa yang terjadi antara manusia dengan Allah. Sebab, berbeda dengan manusia, Allah adalah Maha Pengampun dan kapan saja seseorang bisa langsung memohon ampunan.

Tentu saja dengan dipenuhi syarat-syaratnya. Dan ingatlah, besarnya pahala ibadah tidak bisa menghapus atau mengurangi dosa seseorang terhadap sesama manusia.

Di tengah pandemi virus corona seperti sekarang ini, kita dituntut untuk melakukan suatu kenormalan baru. Mungkin cara halal bi halal saat ini harus dilaksanakan dengan normal, seperti biasa, akan tetapi dengan cara yang baru.

Baca juga Makna dan Pengertian Berjabat Tangan atau Salaman

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X juga Instagram dan Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button