Pilihan Praksis Keberagamaan dan Penghayatan Agama

Pilihan Praksis dalam Keberagamaan dan dalam Penghayatan Agama berada di antara sakralisasi dan sekularisasi. Pola kepenganutan dan kepenghayatan dalam beragama menampilkan wataknya dan penampilannya yang beragam. Itu terjadi karena cara dan kemampuan menangkap pesan-pesan Ilahi yang juga bervariasi.

Hal itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika keberagamaan yang melahirkan pilihan praksis keberagamaan. Praksis keberagamaan atau pola penghayatan dalam beragama pun perwujudannya berbeda-beda.

Pola penghayatan agama

Robert W Crapps pernah menyimpulkan, dalam diri umat manusia beragama, setidaknya tercermin tiga pola dan gaya penghayatan agama, yaitu pola autoritatif, pola yang sedang-menjadi dan pola mistis (Robert W Crapps, 1993).

Pertama, pola autoritatif adalah keberagamaan yang berporos pada tokoh, peristiwa dan kejadian dalam sejarah, tempat dan waktu serta bentuk khusus yang dianggap menampilkan kehadiran Tuhan dan Sabda-Nya yang membawa misi menyelamatkan dunia.

Kedua, pola yang-sedang-menjadi berporos pada proses dan sejarah yang menuntut tanggapan dan keterlibatan di dalamnya dengan bentuk-bentuk yang bersandarkan pada nilai-nilai kebaikan hidup. Dan ketiga, pola mistis adalah keberagaman yang berporos pada keyakinan bahwa Tuhan berperan aktif dalam diri manusia dalam menggerakkan secara langsung hati dan jiwa manusia.

Ketiganya mengidealkan sebuah jatidiri yang inheren; masing-masing menawarkan jalan ketaatan, jalan peneguhan dan jalan mistik.

Beragama secara fundamentalis dan konservatif

Pada pola pertama, ketaatan berada di bawah konsep kekuasaan dan kontrol pemilik otoritas. Karakteristik keberagamaannya yang khas ini dapat ditemui pada upaya umat beragama dalam menjaga dan mempertahankan struktur keagamaan.

Dalam bentuk apa? Dalam wujud ketaatan yang menuntut kesetiaan kepada media atau sarana yang ada seperti Tokoh, Kitab Suci, Lembaga atau Tradisi.

Model keberagamaan ini dalam Islam bisa dilihat dalam wujud Islam Fundamentalis dan atau Islam Konservatif. Dengan label fundamentalis dan konservatif, pola atau praksis keberagamaan ini juga bisa ditemui di luar Agama Islam.

Pada pola kedua, karakteristiknya bisa ditemui dalam tiga aspek. Aspek pertama, penganut dan penghayat pola ini secara serius menerapkan prinsip-prinsip etis agamanya. Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari melainkan dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Karena hanya dalam hidup dengan tertib sosial yang baik dan etis, manusia akan mampu mencapai kehidupan yang lebih bermakna.

Aspek kedua, ada usaha mencapai kesempurnaan diri untuk mendapatkan ketenangan batin dengan mengharap pahala ukhrawi sekaligus pahala duniawi secara berkeseimbangan. Dan aspek ketiga, menyusun dan membentuk program-program melalui lembaga-lembaga keagamaan sebagai media yang menjamin “kehadiran Tuhan” dan pengamalan agama.

Beragama jalan mistis tasawuf

Pola ketiga, mistis. Secara spesifik memusatkan diri pada pengalaman yang “mengatasi diri”. Tujuan pola ini lebih dari sekedar ingin melepaskan diri dari bentuk-bentuk kehidupan agama yang melumpuhkan, seperti dogma, pola ibadah dan bermacam-macam institusi keagamaan.

Tujuan yang inheren dan terkait, adalah mengatasi sejarah, bentuk-bentuk budaya dan kepribadian agar mencapai kesatuan dengan Yang Ilahi. Seorang Mistikus atau Sufi dapat berperan dalam kelompok keagamaan, atau karena pengalaman mistiknya, terdorong untuk berbuat sesuatu bagi kelompoknya.

Meski demikian, pengalaman mistis lebih cenderung mendorong mereka untuk melepaskan diri dari tugas-tugas sehari-hari agar dapat melampaui imanensi menuju transendensi, atau  “Mengalami Tuhan pada Tingkat Tuhan” (Martin E Marty, 1971).

Agama, sekularisasi dan sakralisasi

Ketiga pola penghayatan keagamaan di atas mendapatkan tantangan yang sama di antara dua poros, sekularisasi dan sakralisasi. Jika penganut agama terbiasa membuat abstraksi keagamaannya dan mencoba mengembangkan nilai-nila humanitasnya.

Ia bisa mengembangkan nilai-nilai humanitas-sekularnya pada level sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi. Maka proses itu memungkinkan penganut agama terjerembab ke dalam humanisme absolut, yang itu berarti mengarah pada sekularisasi.

Sebaliknya, penganut agama akan terjebak ke dalam sakralisasi. Kapan? Manakala menjadikan semuanya sebagai absolut secara agamis tanpa sama sekali membuka ruang dialog kehidupan, yang mempertemukan agama dengan nilai-nilai humanitasnya.

Oleh sebab itu, ketiganya dituntut untuk bisa “berbicara” menghadapi problematika kehidupan di antara tarik menarik dua poros sekularisasi dan sakralisasi tersebut. Sebab, pesan-pesan Ilahi yang abadi, menuntut untuk diaktualisasikan dalam praksis keberagamaan kontekstual, intens dan dapat diterima.

Penganut agama tidak perlu mengalami kebimbangan berkepanjangan di antara dua poros tersebut, sebab, menurut Anton Bakker (1990), di antara keduanya ada wilayah yang disebut sebagai “otonomi relatif”.

Mengedepankan sakralisasi tidak sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan zaman, sebaliknya, mengedepankan sekularisasi jelas mendistorsi nilai-nilai Ilahi pada agama yang dihayati.

Penghayatan agama yang inklusif

Wilayah otonomi relatif dalam proses penghayatan agama –dengan menimbang tiga pola yang dijabarkan di atas—menghendaki lahirnya “bentuk umum” sebagai sebuah alternatif.

“Bentuk Umum” penghayatan keagamaan itu adalah; penghayatan agama yang inklusif, dapat diterima oleh semuanya, namun tetap berada dalam bingkai konteks iman, spiritualitas dan religiusitasnya.

Dalam konteks sakralisasi yang terlalu tertutup, eksklusif dan ketat atau rigid, ia harus melakukan sekularisasi. Yaitu berusaha memberikan hak dan ruang gerak yang wajar bagi otonomi di bidang humanitas dan atau persoalan adi-duniawi.

Sekularisasi dilakukan untuk alasan yang sangat mendasar; bahwa penghayatan keagamaan ada pada wilayah manusia, wilayah yang profan, immanen dan manusiawi. Itu di satu sisi.

Di sisi lain, praksis-praksis dalam bidang dan nilai-nilai kehidupan lengkap dengan aspek humanitasnya (kehidupan sosial, politik, ekonomi yang konsumtif, budaya dan teknologi) bisa menjadi terlalu sekular dan otonom. Maka, ia harus melakukan sakralisasi. Caranya? Dengan berusaha menegaskan arti dan nilai religius yang ultimate bagi seluruh aspek kehidupan tersebut.

Sakralisasi dilakukan juga untuk alasan yang sangat mendasar. Bahwa asal muasal dan tempat kembalinya penghayatan keagamaan ada pada wilayah yang sakral, wilayah transenden dan itu berarti wilayah Ilahiyah. Dengan demikian, problem otonomi relatif dalam diri manusia, dalam konteks sakralisasi dan sekularisasi bisa terjembatani.

Pilihan Penghayatan Agama

Selanjutnya, bagaimana menerapkan praksis otonomi relatif dalam ketiga pola penghayatan keagamaan di atas? Umat beragama memiliki pola penghayatan pilihan. Keberagamaan otoritatif tidak lagi bisa dipaksakan untuk dijadikan pilihan mengingat sifat rigid dan tekstualisnya yang berpotensi mengancam kemanusiaan.

Praksis-praksis fundamentalisme keagamaan yang bersekongkol dengan politik dan kekuasaan dan sarat dengan nuansa konflik, menjadi bentuk khusus penampilannya. Dan umumnya, tertolak oleh mayoritas penghayat dalam agama yang sama, karena mendistorsi sakralitasnya.

Pada konteks pola penghayatan mistis yang cenderung mengedepankan sakralitasnya dengan performance religiusitas-intensif, asketik dan eksklusif juga sulit diterima secara umum dan menyeluruh. Mengapa, karena mistisisme masih harus berhadapan dan bergumul dengan persoalan yang semata-mata adi-duniawi.

Munculnya fenomena “mistisisme perkotaan” atau “tasawuf modern” lebih menunjukkan fenomena penghayatan keagamaan yang elitis dan rasional-ilmiah, namun sarat dicirikan oleh bergelimangnya aspek-aspek duniawi dalam performance nya, yang itu identik dengan manifestasi sekularisme.

Penghayatan keagamaan responsif, adaptatif, akomodatif.

Dengan demikian, pola penghayatan keberagamaan “yang sedang menjadi” dalam terminologi Robert W Crapps di atas, lebih mudah menemukan relevansinya dalam konteks sekularisasi dan sakralisasi dengan tetap mempertahankan otentisitasnya. Pola ini menjamin dinamika penghayatan keagamaan yang aktual, relevan dengan tingkat penerimaan yang lebih tinggi.

Yang terpenting dalam pola keberagamaan “yang sedang menjadi” ini, adalah terbukanya kemungkinan sebuah penghayatan keagamaan responsif, adaptatif, akomodatif.

Manifestasinya tercermin dalam pola penghayatan dan praksis keberagamaan Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu, yang inklusif. Pilihan, sepenuhnya ada dalam otonomi relatif, yang kita semua memilikinya di bawah bimbingan otentisitas agama yang bersumber dari Tuhan.

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X Twitter juga Instagram dan Facebook

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button