Bagaimana Nalar Islami dalam Merawat Toleransi?

Tokoh tasawuf terkemuka di dunia, Habib Luthfi bin Yahya pernah menyatakan bahwa “Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, maka alasan bahwa dia ciptaan Allah SWT saja sudah cukup”. Pernyataan tersebut kiranya cukup jadi bagian dari nalar Islami dalam merawat toleransi.
Pernyataan tersebut erat kaitannya dengan toleransi antar umat beragama dari perspektif Islam. Di mana sebenarnya Islam menyediakan banyak ruang bagaimana cara merawat toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Ruang-ruang itu, sepenuhnya bersumuber dari Al Qur’an dan Al Sunnah, yang terekspresikan dalam dalam nalar dan sikap sekaligus.
Pernyataan tersebut di atas juga erat kaitannya dengan perspektif yang lebih luas. Yaitu toleransi antar sesama manusia dengan berbagai latar belakang yang inheren dalam diri kemanusiaannya.
Latar belakang itu bisa berupa agama, suku, bangsa, gender, ideologi, budaya, sosial, ekonomi, politik dan tradisi yang berbeda-beda. Di mana toleransi menghendaki sikap saling menghormati dan saling mengenali satu sama lain.
Dalam keyakinan dan nalar Islam, Allah SWT adalah Pencipta Segala Sesuatu (Allohu Kholiqu Kulli Syai’in). Alam semesta dan seisinya berasal dari Allah Yang Satu, dan itu bermakna bahwa manusia adalah satu, yaitu satu kesatuan dalam penciptaan-NYA. Hal itu juga mengandung arti bahwa manusia ada dalam satu kesatuan penciptaan, tidak ada satu manusia pun yang tercipta selain dari kehendak-NYA.
Nalar Islami
Itulah nalar Islami yang paling utama, kaitannya dengan toleransi. Ajaran toleransi dalam Islam bersumber langsung dari Allah SWT yang ada dalam firman-firman NYA. Allah SWT pula yang menghendaki bahwa pada kenyataannya, di dunia ini, manusia lahir dan hidup serta berkembang dalam corak zaman dan kehidupan yang berbeda-beda, dalam kelompok yang berbeda-beda dan dalam kebudayaan yang berbeda pula.
Manusia diciptakan dan dihidupkan dalam satu kesatuan penciptaan, namun tidak lagi dalam satu kelompok tunggal dalam manifestasinya. Manusia tidak lagi menjadi umat yang satu, melainkan menjadi banyak umat / kelompok masyarakat. Meski demikian, harus dinyatakan bahwa manusia tetaplah ciptaan Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu sekalian dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
Secara lebih tegas, Allah SWT menyatakan, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, (Al Qur’an Surat Al Hujuraat: 13).
Sampai di sini, ada empat kata kunci bagaimana nalar Islami merawat toleransi sangat mendukung langgengnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya antar umat beragama, melainkan antar sesama manusia. Pertama, manusia sebagai satu kesatuan ciptaan. Kedua, keragaman umat manusia dengan segala perbedaanya, adalah design Allah SWT. Ketiga, keharusan saling mengenali antar sesama manusia. Dan keempat, berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Toleransi harus didorong oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan berpikir, hati nurani dan keyakinan. Toleransi tidak hanya kewajiban moral, juga merupakan persyaratan politik dan hukum.
Merawat Toleransi
Dalam merawat toleransi, nalar saja tidak cukup. Mencukupkan diri pada nalar, apalagi hanya pada teks, justeru berpeluang menimbulkan nalar dan sikap intoleran. Oleh sebab itu, perlu konteks dan sikap. Nalar menjadikan toleransi pasif, sedang sikap, akan menjadikan toleransi bersifat aktif.
Katakanlah Wahai Muhammad: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, firman Allah SWT di atas, sudah cukup tegas. Kalimat “untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” menjadi bukti rekognisi (pengakuan) Islam atas adanya agama-agama selain Islam. Atas adanya umat manusia yang memeluk agama selain agama Islam.
Umat Islam memegang teguh ayat “barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,” [3:85], maka sikap itu merupakan sebuah kewajiban dalam rangka menguatkan akidah. Secara internal, ini sebuah nalar islam yang sangat tegas dalam kaitannya dengan menjaga aqidah/keyakinan.
Bahwa di dunia ini, kenyataannya tetap banyak sekali umat manusia yang tidak memeluk agama Islam. Maka kepada mereka umat Islam berkewajiban untuk mengajak melalui dakwah. Namun, bahwa meskipun ajakan dan dakwah itu merupakan sebuah kewajiban, sesungguhnya Allah SWT tidak menghendaki adanya pemaksaan. Bukankah “tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam),” sebab sudah
Merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinisp Toleransi UNESCO. Bhwa, toleransi adalah rasa hormat, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya dunia, terhadap berbagai bentuk ekspresi diri dan terhadap cara-cara bagaimana membangun karakter manusia. Toleransi harus didorong oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan berpikir, hati nurani dan keyakinan. Toleransi tidak hanya kewajiban moral, juga merupakan persyaratan politik dan hukum.