Bagaimana Islam Memandang Kekayaan?

Bagaimana Islam memandang kekayaan? Selain memandang bahwa kekayaan tidak bebas nilai, Islam juga memandang bahwa kepemilikan kekayaan bersifat relatif, karena kepemilikan mutlak hanya ada di Tangan Allah Swt Yang Maha Memiliki.
“Tidak diragukan lagi bahwa tujuan sentral (diturunkannya) Al Qur’an adalah untuk menciptakan tata sosial yang adil serta survive berdasarkan standar etika,” (Fazlur Rahman, 1979).
Tata sosial yang adil dicirikan dengan karaketer egalitarian dan etis sebagai bentuk konfrontasi langsung terhadap disequlibrium ekonomi yang memunculkan kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat Makkah waktu itu.
Makkah adalah pusat perdagangan internasional, tetapi di kota itu tanpa kentara dijumpai praktek-praktek eksploitasi oleh elit Quraisy yang sombong dan pongah berkat kekuasaan dan kekayaan yang digenggam tangan mereka. Elit inilah yang mengeksplotisir dan menghisap keringat dan darah orang-orang lemah, para kuli, budak dan mayoritas miskin.
Fenomena tersebut digambarkan dalam al Qur’an sebagai situasi masyarakat dengan gaya hidup yang kikir, hedonis dan materialis. Dominasi sifat-sifat itu telah melalaikan mereka akan sifat kesementaraan harta yang mereka tumpuk (QS. 102:4 dan 104; 1-7).
Ketidakseimbangan (disequlibrium) ekonomi dalam masyarakat merupakan hal yang dicela oleh al Qur’an sebagaimana politheisme yang merupakan simptom dari segmentasi masyarakat. Keduanya dicela karena merupakan sumber perpecahan dalam masyarakat dan menjadi penyakit sosial yang sulit disembuhkan.
Materialisme dan hedonisme di lingkugan elite Quraisy ditengarai oleh Al Qur’an sebagai alasan mengapa hati mereka tertutup untuk menerina seruan dan ajakan Muhammad Saw yang berintikan Tauhid dan implikasinya berupa tegaknya keadilan sosial-ekonomi yang merupakan prasyarat tegak dan lestarinya tata kehidupan umat manusia.
Pengetahuan elite Quraisy didominasi sisi luar kehidupan dengan kredibilitas yang tinggi; tidak diragukan dalam urusan perdagangan, komoditi yang menguntungkan, cara mempertahankan kekayaan dan cara melanggengkan kekuasaan. Yang tidak mereka miliki adalah orientasi moral dan rasa tanggungjawab sejarah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al Qur’an menggambarkan situasi itu, dengan menyatakan; “mereka mengenal sisi luar kehidupan dunia ini, sedang tentang muara hidup yang sejati, tidak mereka hiraukan (Qs. Al Hajj; 46)
Dari fenomena di atas, ditemukan benang merah bahwa Islam memandang harta benda dan jenis kekayaan lainnya sebagai sepenuhnya tidak bebas nilai. Al Qur’an memberikan nilai tinggi terhadap kekayaan dengan menyebutnya sebagai “kelimpahan dari Allah Swt” (Qs. 62:10).
Kekayaan merupakan bagian dari “suatu kebaikan” (Qs. 11:84, 22:11), bahkan kekayaan dipandang sebagai salah satu dari “nikmat Allah Swt” yang paling berharga bagi umat manusia (Qs 106:1-4) di samping nikmat berupa kedamaian.
Dengan demikian, kekayaan dalam semua bentuknya adalah merupakan keutamaan dan memiliki makna lebih dibanding kemiskinan. Meski demikian, Islam menegaskan bahwa kekayaan, kepemilikian kekayaan, bukanlah sebuah tujuan, melainkan hanya sebuah sarana kehidupan, yang jika diperoleh dengan jalan “halalan-thayyiban” (halal jenisnya dan tidak curang dalam memperolehnya) dan didistribusikan sebagian darinya dalam bentuk zakat, infak dan shadaqah, memiliki implikasi sosial ekonomi berupa pemerataan kesejahteraan dan implikasi yang bersifat sejati dan abadi di akhirat nanti.
Dimana-mana dalam sejarah umat manusia, kekayaan hampir pasti “berselingkuh” dengan kekuasaan. Penguasa adalah pemilik harta, baik langsung maupun tidak. Mereka pemiliki kebijakan yang bisa saja menguntungkan dirinya dengan menggandeng pemilik harta.
Begitu juga pemilik harta, mereka bukan penguasa langsung dalam hal politik dan kekuasaan, melainkan penguasa dalam kekayaan yang diperoleh dengan cara “berselingkuh” dengan pemilik kekuasaan. Korupsi dan kolusi menjadi dua modus yang paling ampuh guna memperoleh keduanya dan membentuk konglomerasi.
Selain memandang bahwa kekayaan tidak bebas nilai, Islam juga memandang bahwa kepemilikan kekayaan bersifat relatif, karena kepemilikan mutlak hanya ada di Tangan Allah Swt Yang Maha Memiliki. Relatifitas kekayaan memiliki implikasi kongkrit yang digambarkan Al Qur’an dengan “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu” (Qs. 59:7).
Penegasan Al Qur’an itu memiliki relevansi isu-siu sepanjang zaman, yaitu tentang praktek-praktek monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme serta konglomerasi yang di satu sisi terbukti memiskinkan dan menyengsarakan mayoritas masyarakat, dan di sisi lain melanggengkan kekuasaan dan kekayaan penguasa dan pemilik harta.
Kita sudah sangat mafhum dengan adagium “ mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi”. Namun, adagium semacam itu nyaris mengalami mitosisasi, meminjam istilah Moh. Kamil Husain (City of Wrong; 1957). Mitosisasi yang bagaimana?
Bahwa adagium “kesejahteraan masyarakat lebih utama dibanding kesejahteraan individu”, berulang kali ditunjuk sebagai menyimpan “upaya jahat” yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa demi mempertahankan kedudukan, kekuasaan dan kekayaannya.
Ajaran Islam tak lekang dimakan zaman. Semangat nya untuk “mengingatkan” tidak akan pernah punah, ia akan abadi sebagaimana abadinya Al Qur’an yang dijaga oleh Allah Swt.
Muhammad Saw mengajarkan bagaimana keseimbangan kekuasaan dan kekayaan harus dijaga, sebagaimana mengajarkan keseimbangan duniawi dan ukhrawi, karena Muhammad Saw menyadari akan kebenaran sejarah dalam bimbingan wahyu dan praktek keseimbangan hidup di dunia dengan menjunjung moralitas dan etika dalam bingkai Tauhid. Dan kita sebagai umatnya, meneladaninya sepanjang masa.