Trending

Bermadzhab dalam Beribadah, Menjaga Kualitas Ibadah

Kebanyakan Ulama bahkan memandang sangat penting hingga berpendapat bahwa bermadzhab dalam beribadah adalah suatu keharusan, dan karenanya wajib hukumnya.

Persoalan Madzhab dalam ibadah sebenarnya bisa dinyatakan relatif statis sejak pasca zaman para Imam Madzhab. Yang dinamis, dan ini yang kita tuntut dari diri kita masing-masing, adalah kualitas dan efeknya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menjawab tantangan kehidupan sehari-hari, kita tidak perlu merubah sedemikian rupa cara beribadah kita sehingga menjadi berbeda sama sekali dengan hasil ijtihad para Imam Madzhab. Yang perlu dirubah kualitas ibadah kita. Dan ini tidak hanya untuk awam, melainkan juga untuk mereka yang mengklaim diri berdayaintelektual tinggi dalam beragama dan berislam.

Apa Itu Bermadzhab?

Apa yang dimaksud dengan bermadzhab? Bermadzhab  berarti, artinya mengikuti cara dan jalan, keputusan dan ketetapan, lalu meyakini dan mengamalkan pendapat seseorang. Dalam hal ini, seseorang itu adalah Imam Madzhab  yang otoritasnya diakui masyoritas Ulama.

Apa pentingnya bermadzhab dalam Islam dan dalam beribadah? Bahwa bermadzhab dalam beribadah itu adalah hal yang sangat penting. Pentingnya menganut sebuah Madzhab merupakan pengakuan atas keawaman diri disertai rasa tanggungjawab. Awam di sini berarti masyarakat muslim pada umumnya, untuk membedakannya dengan Mujtahid, seorang yang memiliki kemampuan dan kapasitas keilmuan dan keislamannya dikaui sebagai pembaharu Islam.

Realitas mayoritas umat Islam adalah awam, mereka menjalani keislamannya termasuk dalam beribadah, menggantungkan pada pendapat, pikiran, keputusan dan ketetapan hukum yang pernah dihasilkan para Mujtahid, yang kita kenal sebagai para Imam Madzhab  .

Apakah bermadzhab dan taqlid wajib bagi orang Islam yang awam? Awam tidak selamanya harus diidentikan dengan sikap taqlid, apalagi taqlid buta sebagaimana sering dilontarkan oleh para penentang taqlid. Sebaliknya, awam justeru menunjukkan sikap rendah hati dalam berislam. Pengakuan keawaman disertai rasa tanggungjawab, bukanlah tindakan bodoh, mengekor dan membeo.

Pengakuan ini penting untuk dikedepankan karena memiliki potensi untuk mengembangkan diri dalam berislam melalui proses ijtihad (berusaha sungguh-sungguh dalam berislam). Terbukti, dalam perkembangan Islam, selalu muncul adanya Mujtahid dalam pengertian para Pembaharu pemikiran keislaman, dan mayoritas lainnya tetap dalam keawamannya.

Imam Madzhab

Menjadi Muslim awam yang bertanggungjawab tidak perlu minder, introvert dan tidak percaya diri, juga tidak perlu merasa terbelenggu dengan hasil ijtihad para Imam Madzhab   dalam menjalankan ibadah.

Benar bahwa para Imam Madzhab   memberikan ruang kebebasan bagi umat Islam, untuk mengikuti dan/atau tidak mengikuti pendapatnya. Di situlah letak kebijakan sekaligus kebajikan para Imam Madzhab. Ke empat Imam Madzhab   – Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali– menunjukkan sikap moderatisme yang cukup tinggi.

Empat Imam Madzhab   itu diikuti oleh mayoritas Umat Islam di seluruh dunia, dari zaman pertama kali kemunculannya, hingga saat ini. Hanya sebagian Muslim yang mengikuti Madzhab Syi’ah.

Madzhab yang diikuti Muslim di Iran ini, memang diakui keberadaanya, dan menjadi pembeda yang jelas dengan pengikut empat Imam Madzhab   yang dikategorikan Sunni, sementara Si’i mewakili Madzhab   Syiah.

Rasulullah Muhammad Shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda; Sesungguhnya umatku tidak akan berhimpun dalam kesesatan. Jika kamu melihat perselisihan, maka hendaklah kamu mengikut As-Sawad Al-A’dham. [Sunan Ibn Majah no: 3940].

Maksud dari As-Sawad Al-A’dham, adalah mayoritas umat Islam pengikut empat Imam Madzhab. Dengan meluasnya pengaruh empat mahzab tadi dan wafatnya para imam, maka empat Madzhab tersebut adalah mayoritas di kalangan umat Islam. Sehingga mengikutinya adalah sebuah keharusan.

Hadits tersebut dijadikan landasan mengapa mengikuti Madzhab   dalam beribadah, menjadi penting, bahkan sebagian Ulama mengatakan, wajib hukumnya. Dalam kitab al-Mizan al-Sya’rani Fatawi Kubra, Ali al-Khawash pernah ditanya tentang hukum bermadzhab. Beliau menjawab “Seseorang harus mengikuti suatu Madzhab   jika belum memiliki pengetahuan tentang inti agama, karena khawatir jatuh dalam kesesatan.” Hadits tersebut sekaligu menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa, kenapa harus bermadzhab dalam beribadah.

Ta’abbud, Ta’aqqul dan Takhalluq

Kita ingatkan kembali bahwa dalam berislam, ada Ta’abbud, Ta’aqqul dan Takhalluq. Ta’abbud, beribadah, kita melakukan shalat, zakat, puasa dan haji adalah sebagai ungkapan dan tindakan menyatakan kepatuhan kita terhadap Allah Swt. Juga jenis-jenis Ibadah yang lain, yang tercantum dalam fikih, baik ibadah, munakahah, muamalah maupun jinayah.

Bersamaan dengan ta’abbud mesti bareng dengan Ta’aqqul, yaitu mendayagunakan akal pikiran, menggunakan otak untuk memahami ibadah agar sesuai dengan koridor syariat.

Baca juga Umroh di Bulan Ramadhan: Hadits, Pahala dan Keutamaan

Dan ketiga adalah Takhalluq, berakhlak dan berbudi pekerti, artinya output ibadah harus menjadi bingkai perilaku. Bekas (atsar) ibadah itu harus menjadi akhlak atau budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kita cermati, hari ini, akhlak lah yang sangat kita butuhkan. Tidak ada yang bisa menggaransi akhlak seorang Muslim awam lebih buruk daripada akhlak seorang pemimpin muslim dengan daya intelektual tinggi.

Karena seungguhnya masih banyak orang awam yang khusuk beribadah, menjunjung tinggi akhlak dan kokoh mempedomani Madzhab. Dalam batin mereka, jauh dari bisikan perpecahan apalagi permusuhan. Mereka, karena keawamannya, jauh lebih mementingkan Ibadah dan Ahlak dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus menolak, mendobrak atau bahkan melakukan perlawanan terhadap Madzhab.

Semoga pentingnya bermadzhab dalam beribadah bisa menjadi pedoman untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah.

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X juga Instagram dan Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button