Fitrah Manusia Sebagai Makhluk Berketuhanan

Manusia makhluk berketuhanan merupakan fitrah. Ada beragam definisi tentang fitrah sesuai dengan objek ang disandarkan kepada fitrah itu sendiri. Namun, secara umum pengertian fitrah dipahami sebagai kondisi asali manusia yang suci dan bersih.
Kondisi ini bersifat azali, nun jauh di alam yang dikenal dengan alam arwah (ruh). Jauhnya tak terbilang dengan angka dalam jarak tempuh.
Fitrah juga bisa dipahami dalam perspektif alam nalar manusia sehingga lebih konkrit untuk dimengerti. Ilmu psikologi mengenalkan fitrah sebagai potensi bawaan yang terpendam dalam diri manusia.
Idulfitri, secara harfiah bermakna “kembalinya manusia kepada kondisi asal yang suci dan bersih”. Dinyatakan “kembali”, karena pada hakikatnya, kondisi Fitrah itu konstan, tetap adanya.
Namun, disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, fitrah bisa mengalami perubahan. Perubahan bisa berupa kemelencengan, hingga hilangnya Fitrah Manusia dari dirinya.
Itu sebabnya, Kita kadang mendengar ungkapan; manusia berpotensi untuk kehilangan fitrahnya. Seseorang sudah kehilangan fitrahnya. Atau seseorang sudah jauh dari fitrahnya, sehingga perlu usaha untuk mengembalikannya agar fitrah itu bisa diraih kembali.
Manusia Mahluk Berketuhanan
Dalam fitrahnya, manusia makhluk berketuhanan, yang berarti bahwa sampai kapanpun, dalam kondisi apapun dan di manapun berada, manusia adalah mahluk yang mengakui adanya Tuhan.
Manusia dalam fitrahnya, “tidak mungkin tidak mengakui adanya Tuhan”.
Hal ini ditegaskan dalam Al Qur’an Surat Al A’raf ayat 172:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
Sebagai makhluk berketuhanan, kita menyatakan dan meyakininya dengan pernyataan Tauhid, yaitu dengan mengesakan Allah SWT. Tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT.
Sebagai makhluk berketuhanan, kita menyatakan dan meyakininya dengan pernyataan Tauhid, yaitu dengan mengesakan Allah SWT. Tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT.
Sikap Tauhid dan pernyataan keimanan ini harus djaga dan dipertahankan dari segala godaan yang bisa merusak ketauhidan.
Kita jangan sekali-kali terjebak ke dalam kemusyrikan yang nyata; dengan menuhankan benda, menuhankan sesama makhluk. Jangan pula menuhankan paham, pemikiran, aliran, identitas, yang menyebabkan kita keluar dari fitrah ini.
Saat ini banyak hal-hal yang bisa menyeret manusia untuk melupakan Allah SWT. Fitrah berketuhanan bisa tergerus oleh bentuk-bentuk penghambaan dan pengabdian kepada selain Allah SWT. Ia bisa berupa pangkat, jabatan, harta, kekuasaan, ideologi dan bentuk-bentuk penghambaan semu lainnya.
Karakter azali fitrah berketuhanan dalam diri manusia pernah dan mungkin masih diragukan bahkan digugat, terutama oleh mereka yang menganut ideologi atheisme dan komunisme.
Dengan jargon menegasikan adanya Tuhan, tidak mengakui adanya Tuhan, namun pada proses penegasian itu sendiri tercermin adanya pengakuan mereka terhadap akan Tuhan.
Di sinilah letak kekuatan adi-kodrati Tuhan, Allah SWT, yang kepadaNya, umat Islam menyembah, menghambakan diri.
Menjaga Fitrah Berketuhanan
Ada saat di mana sebagai manusia kita merasa dekat dengan Allah SWT. Namun ada saatnya kita merasa jauh dari Allah SWT. Jika kondisi merasa jauh ini tidak kita kendalikan, ia berpotensi untuk semakin menjauhkan diri. Oleh sebab itu, kita tempuh beberapa cara agar kedekatan dengan Allah SWT tetap terjaga.
Yang bisa kita upayakan secara terus menerus adalah bagaimana menjaga fitrah berketuhanan itu, dengan beberapa ihtiar sebagai berikut.
Pertama, meyakini sepenuhnya kebenaran perjanjian azali antara Allah SWT dengan manusia seperti terungkap dalam kalimat Alastu Birobbikum… Balaa Syahidna. Perjanjian dan persaksian ini akan tetap ada pada tempatnya, dan harus kita pertahankan sampai ajal tiba sehingga kita mati.
Kita semua menghendaki mati sebagai golongan “Min Ahli Laa Ilaha Illallaah. Dan kelak di akhirat, kita bisa mempertanggung-jawabkan persaksian Kita itu di hadapan Allah SWT.
Kedua, istiqomah dengan shalat dan membaca Al Quran. Ada ungkapan menarik; jika engkau hendak berbicara kepada Allah SWT, maka shalatlah. Dan jika engkau menghendaki Allah berbicara kepadamu, maka bacalah Al Quran.
Dengan memperbanyak mendengar atau membaca kalam Allah yaitu Al Qur’an, dan dengan melaksanakan shalat secara lebih berkualitas, kita akan ada pada kondisi yang terus “berdialog dan berbicara” dengan Allah dalam keseharian kita.
Ketiga, puasa. “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ” (HR Bukhari). Puasa, termasuk puasa Ramadhan, adalah media “komunikasi” ruhani manusia dengan Allah SWT.
Dan jika benar dilakukan dengan iman dan penuh pengharapan, bukan mustahil puasa menjadi wasilah keterjagaan fitrah berketuhanan dalam diri manusia.
Kesadaran akan manusia makhluk berketuhanan harus ditempatkan dalam saat dan tempat yang tepat. Dengan demikian, hanya jika manusia berada dalam “kesadaran berketuhanan” lah keadaan fitrahnya dapat ia raih, ia pahami dan ia rasakan. Itu bisa dipahami dan dirasakan terutama ketika berada dalam kesendirian (lonelines).
Atau ketika berada di segenap segmen kehidupan dan di “jalan-jalan” yang menuju ke arah pembumian etika dan moral, tindakan dalam kesadaran berketuhanan. Dan itu bisa ditemukan dalam praktek penghayatan agama dan keagamaan. Tidak terkecuali dalam keislaman dan keberislaman.
Demikian artikel pendek tentang manusia makhluk berketuhanan, semoga bermanfaat.
Mantap bang