Indonesia Terserah, Menyerah, Berserah
Menghadapi Covid-19, negara kita Indonesia memiliki tiga pilihan; terserah, menyerah, atau berserah. Pilihan yang sulit namun harus ditetapkan. Dari sudut pandang mana pun, pilihan berserah adalah pilihan paling rasional untuk saat ini. Ya, berserah, setelah sejumlah upaya aktif sebagai respons kita menghadapi situasi nyata di depan mata, saat ini.
Berserah bukan menyerah apalagi terserah. Berserah adalah sikap yang hadir untuk semua respons baik kita, di tengah kesadaran bahwa banyak hal terjadi di luar kendali kita.
Disiplin dalam berserah
Pilihan berserah harus dimulai dari lingkungan terkecil, keluarga kita masing-masing. Siapapun, dari latar belakang status sosial apapun, harus memulainya, atau melanjutkanya.
Keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi maupun rendah; dengan tingkat pendapatan yang tinggi maupun yang rendah; dengan status pekerjaan yang tinggi maupun yang rendah. Harus menjadi teladan dalam dirinya sendiri; dimulai dari keluarga, lalu dalam bermasyarakat di desa, lalu dalam berbangsa dan bernegara.
Yang paling utama kaitannya dengan disiplin dalam berserah adalah menjalankan protokol kesehatan. Ini semacam harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keluarga harus berani mencanangkan disiplin keluarga dalam berserah.
Disiplin menerapkan protokol kesehatan sudah kita praktikan. Ia mesti harus dilanjutkan secara terus menerus sampai bulan-bulan berikutnya. Semoga semua penyakit yang disebabkan karena virus bisa kita cegah masuk ke dalam tubuh anggota keluarga kita.
Dengan keluarga yang aman dan disiplin dalam berserah, maka patut berharap desa aman dari bencana corona. Jika desa sudah aman, maka wilayah yang lebih luas, sangat mungkin menjadi aman.
Berserah dengan damai
Indonesia berserah tidak cukup hanya dengan menerapkan protokol kesehatan berbasis keluarga secara lebih disiplin. Ia butuh strategi berdamai dalam berserah. Ya, berserah dengan damai. Menempatkan virus corona bukan sebagai musuh, perlu dibangun dalam mindset kita.
Virus corona, pada akhirnya harus ditempatkan sebagaimana virus sejenis yang pernah menjadi pandemi. Secara naluriah, ia pasti menhadirkan ketakutan demi ketakutan. Kekhawatiran demi kekhawatiran. Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan tidak diperlukan. Karena akan mengganggu bangunan mindset damai dalam hati dan akal pikiran kita.
Ketakutan dan kekhawatiran juga akan berpotensi mengurangi tingkat keberserahan. Lebih jauh lagi, bisa memicu hilangnya akal sehat. Ini membahayakan kehidupan selanjutnya.
Maksud berdamai dengan virus corona tidak lain adalah :
keberanian membangun mindset, mengambil sikap dan tindakan untuk menempatkan virus corona sebagai bagian dari makhluk hidup ciptaan Tuhan. Jika ia sudah di luar kendali manusia, ia pasti masih ada dalam kendali Tuhan.
Tanpa kesadaran optimistis semacam itu, maka mustahil terbangun sikap damai. Dan kesadaran yang demikian itulah yang harus ada dalam bingkai “Indonesia Berserah”. Ya, kepada siapa lagi kita berserah, kecuali kepada Tuhan.
Bukan Indonesia terserah
Pilihan kita seharusnya, bukan Indonesia terserah. Sebab, Indonesia terserah, jelas bukan ciri dari sikap kita yang optimistis. Memang hal itu sempat viral di media sosial, namun pada akhirnya, itu harus diterima sebagai bagian dari kritik kepada pemerintah.
Perilaku-perilaku yang mencerminkan keterserahan tidak menunjukkan semangat untuk berdamai. Namanya juga terserah. Artinya justru mengalah. Tidak mau berdamai. Lalu membiarkan virus corona semakin mengancam dan menggila. Karena kita membuka diri untuk masuknya virus seperti berkerumun di pusat perbelanjaan demi memenuhi hasrat konsumtivisme.
Memang tagar #IndonesiaTerserah harus kita terima sebagai pemantik. Sebagai pemicu untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk diikuti. Atau untuk melemahkan strategi yang masih digodok oleh pemerintah. Sebab, sepertinya selalu ada yang sedang giat memanfaatkan situasi untuk tujuan jangka pendeknya. dan ini perbuatan nista.
Kita sedang butuh kearifan untuk kembali bersatu, bergotongroyong, harus sama-sama proaktif. Sementara sikap pasif dalam keterserahan hanya menjadi belenggu kita untuk Bangkit dalam Optimisme Normal Baru.
Kenormalan baru, new normal harus disongsong, dimasuki. Dan ia hanya bisa dimasuki dengan cara berserah diri kepada Tuhan. Beraktifitas sebagimana biasanya; dengan catatan, membiasakan diri hal baru seperti menjaga dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Indonesia tidak boleh terserah, tidak boleh menyerah, tapi harus berserah kepada kekuatan yang lebih tinggi sambil terus berikhtiar.