Konsumtif dan Konsumtivisme yang Memudar
Ada fenomena gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan menganut pola konsumtivisme yang memudar. Sejak pandemi corona melanda, mulai bisa dilihat dan diamati.
Simbol-simbol gaya hidup komsumtif seperti Mal, pertokoan dan pusat perbelanjaan lainnya secara mengejutkan terdampak sangat hebat. Membaca judul beritanya saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana dampak itu benar-benar nyata.
Misalnya;
~Mal sepi diserang corona, gelombang tutup toko di depan mata;
~Penampakan mal mal yang sepi ditinggal pengunjung imbas corona;
~Mal sepi tutup imbas corona pengusaha minta insentif kepemerintah;
~Mal di jakarta sepi gara-gara corona;
dan judul berita sejenis yang bertebaran di media massa.
Virus corona terbukti sangat hebat memberikan dampak kepada pola dan gaya hidup, lifestyle sebagian besar masyarakat. Konsumen terdampak. Podusen pun terimbas. Produksi ditekan untuk menghindari persediaan barang yang berpotensi andeg.Aktifitas konsumsi dan produksi melambat, hingga ada yang terhenti dan mati.
Beberapa perusahaan harus merumahkan pekerja dan karyawannya. Mereka pun harus bergegas mengencangkan ikat pinggang. Banyak perusahaan yang harus menghitung ulang manajemen produksi sampai situasi benar-benar stabil. Dan itu butuh waktu yang lama.
Pengertian Konsumtif dan Konsumtivisme
Konsumtif adalah pemakaian (pembelian) atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata, dan bukan menurut tuntutan kebutuhan yang dipentingkan (Barry, 1994).
Sementara itu Konsumtivisme adalah paham untuk hidup konsumtif. Orang yang konsumtif cenderung tidak mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli benda atau barang. Yang menjadi pertimbangan adalah prestise yang melekat pada barang tersebut.
Konsumtivisme sebagai budaya menimbulkan shopilimia. Dalam psikologi ini dikenal sebagai compulsive buying disorder (penyakit kecanduan belanja). Apakah anda termasuk kategori orang dengan gejala psikologis Shopilimia? Semoga saja tidak.
Orang yang menderita shopilimia tidak menyadari dirinya terjebak dalam kubangan metamorfosa antara keinginan dan kebutuhan. Ini bisa menyerang siapa saja, perempuan atau laki-laki. Contohnya: membeli handphone jenis terbaru, mengikuti trend dan membeli gadget yang sedang up to date.
Seperti terlihat di bawah, pola belanja konsumtif konsumtivisme juga nampak di penghujung bulan Ramadhan. Tak terkecuali yang dilakukan oleh para pemudik.
Puasa menekan virus corona
Bukan kebetulan bahwa pandemi virus corona memasuki, bahkan melewati bulan puasa, Ramadhan 1441 H. Secara tidak langsung, pelaksanaan ibadah puasa bisa menekan penyebarannya. Efek dan dampak covid 19 pun bisa dikendalikan.
Puasa hubungannya dengan iman, keimanan. Namun dengan berpuasa, imun dan imunitas tubuh bisa terjaga. Sudah menjadi keyakinan umat Islam, bahwa puasa itu menyehatkan. Puasa bisa membantu tumbuhnya imunitas dan tingkat kesehatan tubuh. Itu karena selama puasa, pola makan terjaga.
Untuk tetap sehat, tidak perlu menempuh cara menunda puasa. Jutseru jika memungkinkan, ikhtiar untuk tetap sehat dengan cara meningkatkan kualitas puasanya, sebagaimana jenis dan tingkatan puasa orang-orang ini.
Sementara itu, aktifitas ibadah selama bulan puasa juga disiapkan untuk bisa ikut meredam penyebaran virus corona ini. Tarawih di Rumah, misalnya. Ini tidak mengurangi nilai dan pahala kesunnahan shalat tarawih. Sungguhpun tidak dilaksanakan di Masjid atau Musholla, ikhtiar batin melalui I’tikaf di Rumah juga dilaksanakan untuk maksud tersebut.
Viurs Corona menekan konsumtivisme
Pola hidup konsumtif biasanya menonjol selama bulan Ramadhan. Ramainya pusat-pusat perbelanjaan mengalahkan ramainya masjid dan Musholla. Itu terutama di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Pola konsumtivisme terfokus ke persiapan Perayaan Idul Fitri.
Mungkin karena masih ada yang menganggap perayaan Idul Fitri sebagai “Pesta Kemenangan”. Lalu, semuanya, semua jenis barang-barang belanjaan, dibeli dan diborong secara konsumtif, difokuskan menuju palaksanaan pesta tersebut.
Meski demikian, harus diakui bahwa virus corona justeru mampu menjadi pengendali pola belanja konsumtif dan gaya hidup konsumtivisme. Juga mampu menekan sedemikian rupa ideologi konsumtivisme. Itu sebabnya saya sampaikan, ada gejala memudarnya pola konsumtivisme.
Yang nampak kemudian adalah terjadinya krisis di banyak sektor; sosial, ekonomi dan produksi. Sampai-sampai peemrintah harus mengeluarkan beberapa kebijakan seperti BLT Dana Desa, penambahan Bantuan Langsung Tunai, menggratiskan biaya langganan listrik, dan kebijakan lainnya.
Pada akhirnya, kita boleh kiranya mempertimbangkan untuk menyampaikan terima kasih kepada virus corona, juga puasa Ramadhan. Keduanya telah mampu menekan pola dan gaya hidup konsumtif konsumtivisme. Sebuah pola hidup yang kadang sarat dengan ketidakadilan. Demikian semoga bermanfaat.