Amien Rais dan Politik Adiluhung yang Kian Meredup
Gagasan Amien Rais tentang Politik kualitas-tinggi atau sering juga disebut dengan Politik Adiluhung, nampaknya kian meredup. Amien Rais sendiri nampak sudah tidak konsisten lagi dengan gagasannya itu.
Dia gagal melakukan internalisasi politik adilihungnya ke dalam dirinya sendiri dengan ujaran kebencian. Secara politis yang jauh dari rahmah. Melainkan emosional dan cenderung marah-marah, dan bernuansa diskriminatif atas etnis dan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).
Gagasan politik adiluhung
Di era tahun 1996an, politisi senior Amien Rais pernah membuat kategorisasi politik secara praktis, yaitu politik kualitas-tinggi (high politics) dan politik kualitas-rendah (low politics). Dia menegaskan bahwa bagi Muslim, tindakan politik adalah baik jika berguna bagi rakyat sesuai dengan ajaran “Islam rahmatan li al-alamin”.
Menurutnya, politik kualitas-tinggi, politik adiluhung, memiliki tiga ciri. Pertama, memandang jabatan politik sebagai amanah, dan karena itu tidak disalahgunakan, apalagi dengan melakukan korupsi. Kedua, jabatan politik mengandung pertanggung jawaban (mas’uliyyah, accountability), terutama di hadapan Allah. Ketiga, jabatan politik didasarkan kepada prinsip persatuan (ukhuwwah, brotherhood), persamaan di antara umat manusia.
Amien Rais melakukan langkah penjegalan secara terang terangan yang disampaikannya kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan menyatakan Ahok “sontoloyo” dan “pekok”. Mantan Ketua MPR RI itu bahkan menyebut Ahok sebagai Dajjal yang kesombongannya sudah menyundul langit.
Menurutnya, “dalam sejarah, tidak ada orang sombong menang. Jangan sampai Dajjal itu nanti menang”. Mungkin, kalau “sontoloyo” dan “pekok” masih bisa dimengerti dengan akal sehat dan rasional secara politik. Namun ketika menyebut Dajjal, maka hal itu sudah menunjukkan kebencian yang tinggi dan dengan begitu telah mempraktekkan politik kualitas-rendah (low politic).
Pernyataan itu juga tidak mencerminkan perasaan dan pandangan “persamaan di antara umat manusia” dalam kategori politik-kualitas tinggi yang menjadi gagasannya. Secara personal, Amien Rais boleh saja geram dengan sosok seorang Ahok.
Praksis politik adiluhung
Tapi lebih adiliuhung jika tidak menyampaikan statemen Dajjal tersebut. Nampaknya Amien Rais perlu mengembalikan konsepsi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam praksis politik adiluhung kelas-tingginya, guna membingkai politik Islam dengan kesadaran penuh atas rahmat (kasih, sayang dan damai).
Penulis berpandangan bahwa politik Islam itu dinamis. Pada awalnya teduh dan sebisa mungkin dijaga keteduhannya. Sampai disadari bahwa dinamika dan realitas politik harus membawa umat Islam untuk mengenali dua potensi yang kehadirannya kadang tidak bisa dihindari ; politik islam yang gaduh, yang rusuh.
Beberapa Partai Politik –yang mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai– Islam pernah mewarnai kegaduhan di negeri ini, dan elite politiknya tersangkut kasus korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum jika tingkat elektabilitas pastai-partai Islam belakangan ini merosot tajam. Cukup ironi, padaha Indonesia terkenal dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Tentu banyak faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini, salah satunya adalah nalar dan etika politisi partai-partai Islam beserta para elitnya yang jauh dari tatanan Islam itu sendiri.
Merosotnya tingkat elektabilitas partai Islam bisa jadi lantaran politik yang dimainkan masuk dalam kategori low politics yang mengedepankan tujuan-tujuan pragmatis. Nilai-nilai adiluhung Islam dalam urusan politik hanya menjadi gincu untuk menyerap suara rakyat.
Namun sayangnya, kini masyarakat sudah semakin cerdas dan dewasa yang menjadikannya kebal atas mantra-mantra politik partai-partai Islam.
Kesadaran akan pentingnya rahmat yang secara awal mula diinginkan oleh Islam menjadi bangunan kesadaran politik umat. Mengapa politik islam bisa menjadi gaduh, bahkan rusuh? Karena politik selalu bersentuhan antara dua kutub, lawan dan kawan, dan di antara keduanya selalu ada kepentingan.
Kawan lawan Politik Islam
Realitas politik memaksa untuk mengenali kawan dan lawan. Akan tampak bahwa yang menentukan kawan dan lawan dalam Islam bukanlah orang secara biologis—baik individual maupun kolektif, baik personal maupun partai politik.
Menurut Kuntowijoyo (1997), kawan dan lawan Islam itu bukan orang, tapi kesadaran. Ketika menyatakan “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka” (QS. Ali Imran: 159), Allah SWT mentransfer kesadaran (akan pentingnya) rahmat kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi bingkai perilaku politik yang dijalankannya, termasuk kepada musuh-musuhnya, baik yang muslim maupun non-muslim, sehingga konflik bisa dikelola dengan strategi yang ramah.
Melalui praksis yang ada, Islam melalui Nabi Muhammad, tidak menjadikan konflik sebagai metode berpolitik, meski demikian, Islam tidak mengesampingkan kemungkinan hadirnya konflik.
Kesadaran akan rahmat menjadi pintu masuk meminimalisir konflik untuk melahirkan peneduh politik sebagaimana tercermin dalam dua konsensus penting berupa Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah. Dan Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam ranah politik, lawan dan musuh Islam yang sebenarnya bukan person secara biologis, karena manusia terikat dengan kesatuan-kesatuan objektif, persis dengan kesatuan penciptaan yang dinyatakan Al Qur’an; “Dia menciptakan kamu dari seorang diri” (QS. Az Zumar: 6).
Kesadaran rahmat yang bersifat immaterial bermula dari fakta kesatuan penciptaan itu. Lawan dan musuh Islam dalam politik adalah apa saja dan siapa saja yang berkesadaran materialistis — yang tidak tertutup kemungkinan ada dalam masyarakat muslim sendiri— sehingga umat Islam tidak seharusnya bermusuhan karena urusan material, urusan kebendaan.
Bahwa kesatuan objektif sebenarnya merupakan media yang bisa mendorong terealisasikannya cita-cita Islam lewat sarana yang juga bersifat objektif –seperti menjadikan koalisasi partai politik untuk realisasi tujuan ke-Islaman—bersama orang lain, bersama antara partai religius dengan nasionalis, atau bahkan bersama antara muslim dengan non-muslim.
Ketepatan memilih dan menerapkan strategi sangat menentukan keberhasilan tujuan cita-cita itu. Yang kita harapkan adalah, politik Islam di genggaman para politisi muslim tetap berjalan dalam suasana teduh, dan memayungi semuanya. Di sinilah kesejatian politik adiluhung bisa diperankan.
Demikian artikel opini politik tentang Amien Rais dan Politik Adiluhung yang Kian Meredup. Semoga bermanfaat.