Haji Mabrur, Menabur Benih Menjaga Kemabruran Haji
Menjadi haji mabrur adalah dambaan setiap jemaah haji. Kemabruran Haji bisa diperoleh sejak benih ditanam. Dan ikhtiar menjaga kemabruran haji pun harus ditempuh. Bagaimana menjaga kemabruran haji? Haji sebagai bagian dari Perjalanan Spiritual, Kemabruran Ibadah Haji harus dijaga sepanjang hidup seseorang.
Betapa tidak, Allah Swt. menjanjikan tidak ada pahala lain bagi haji mabrur kecuali surga. Dan Surga yang dijanjikan Allah Swt pasti benar adanya. Menjadi sepantasnyalah bahwa setiap calon jemaah haji pasti berdoa untuk dirinya sendiri, didoakan oleh keluarga dan kerabat kelak mendapatkan haji yang mabrur.
Haji Mabrur
Haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dan RasulNya, terpenuhi segala syarat, rukun, wajib dan sunnahnya serta menghindari hal-hal yang dilarang tidak ternodai cacat, baik melalui ucapan, perbuatan maupun sikap selama menunaikan ibadah haji, dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.
Memang, tidak ada definisi haji mabrur yang pengertiannya bisa diterima secara baku dan tunggal. Itu semata karena aspek keluasan makna dan implikasinya. Ada yang mengatakan haji mabrur bisa dilihat tanda-tandanya; perbuatan dan tingkah lakunya yang lebih baik dari sebelum berhaji. Mari kita lihat dari sisi yang lebih mendekati definisi yang langsung dari sumbernya.
Ketika ditanya oleh para Sahabat tentang tanda-tanda haji yang mabrur, Rasulullah Muhammad SAW menjawabnya dengan dua ciri, yakni mereka (suka) memberi makan orang miskin dan menebar salam (kedamaian). Dua ciri itu bisa berdiri sendiri-sendiri, juga bisa digabungkan menjadi satu aktifitas yang bisa mewujudkan kemabruan haji seseorang.
Bahwa kemabruran haji itu bukan wilayah manusia unsich, tapi juga wilayah Allah Swt. Dikatakan demikian karena penilaian tentang kemabruran sebenarnya menjadi wewenang Allah Swt. Dan Allah Swt pula yang berhak untuk memberinya surga.
Secara kasat mata, pahala surga tidak mungkin didapati di dunia kini dan di sini, melainkan di akhirat nanti. Oleh sebab itu, tak seorang jamaah hajipun yang berhak menilai dan mengklaim kemabruran haji dari perspektif dirinya sendiri saat ini dan di dunia ini.
Dikabulkan (dalam waktu cepat) atau tidak dikabulkannya doa permohonan menjadi haji mabrur (dalam waktu yang ditetapkan Allah Swt), sangat bergantung kepada benih yang ditabur dan ditanam, cara merawat benih hingga tumbuh menjadi berkembang dan berbuah.
Pada saatnya yang tepat, “panen” kemabruran niscaya didapat. Benih yang ditabur dan ditanam harus mencerminkan ciri yang dinyatakan oleh Rasulullah Muhammad Saw di atas. Karena ini menjadi bagian (dari benih) yang harus dilakukan (ditanam) oleh seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji, maka pengertian, pemaknaan dan praktiknya harus diperluas.
Benih Kemabruran Haji
Salah satu tanda kemabruran haji seseorang adalah dengan “memberi makan orang miskin”. Sedemikian sederhanakah pesan dari hadits Nabi Muhammad SAW di atas? Tentu saja tidak, karena hal itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus berhaji.
Penulis menggunakan frasa “hidup bersama orang miskin” ketimbang “memberi makan orang miskin” sebagai tanda haji mabrur. Frasa itu diperkuat dengan Hadits Nabi Muhammad Saw, yang berbunyi; Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Lantas siapa orang miskin itu? Rasulullah Muhammad SAW menyatakan kriteria orang miskin itu, sebagai berikut; “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.”
Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”(Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Berdasarkan kedua hadits di atas, hidup bersama orang miskin pada hakikatnya adalah benih kemabruran yang bisa ditabur, ditanam dan dipupuk oleh para jemaah haji. Hak itu bisa dimulai dengan menumbuhkan rasa cinta, merajut silaturahmi dan menjalin kedekatan dengan orang miskin.. Tanpa ketiga aspek itu, mustahil sebuah niat bisa menjadi kenyataan.
Ketiga aspek tersebut pun belum bisa diwujudkan tanpa melaksanakan tindakan yang konkrit dan berkesinambungan. Para jemaah haji kelak bisa memilih aktivitas yang secara umum berorientasi pada pemberdayaan orang miskin.
Dengan demikian, Hidup Bersama Orang Miskin harus diwujudkan dalam beberapa aktivitas yang nyata dengan strategi yang bisa memberi efek jangka panjang bagi pemberdayaan orang miskin.
Bagaimana menjaga kemabruran haji? Tiga strategi berikut ini, perlu menjadi bahan pertimbangan
Pertama, proaktif membantu mengembangkan sistem perlindungan sosial bagi orang miskin yang berlaku di masyarakat. Sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk membantu individu dan masyarakat menghadapi goncangan-goncangan dalam hidup, seperti jatuh sakit, kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan, ditimpa bencana atau bencana alam, dan sebagainya.
Kedua, proaktif membantu memperbaiki akses kelompok masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar. Akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta pangan dan gizi akan membantu mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh orang miskin. Peningkatan akses terhadap pelayanan dasar mendorong peningkatan investasi modal manusia (human capital). Memudahkan peningkatan akses pendidikan perlu diutamakan mengingat dalam jangka panjang ia merupakan cara yang efektif bagi pengentasan kemiskinan.
Ketiga, para jemaah haji bisa bergabung bersama-sama dengan jemaah lainnya lalu dalam wadah pemberdayaan ekonomi dan mengupayakan pemberdayaan orang miskin. agar dapat keluar dari kemiskinan. Pentingnya pelaksanaan strategi dengan prinsip pemberdayaan ini mengingatkan kita semua bahwa kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin.
Menjaga Kemabruran Haji
Rata-rata para jemaah haji adalah mereka yang masuk dalam kategori kaya karena mampu secara finansial untuk membiayai diri dan keluarganya sehingga berhasil menunaikan ibadah haji. Namun harus diingat bahwa kemabruran haji bukan hal yang serta merta bisa didapat.
Haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup. Kemabruran haji adalah jaminan langsung dan semata dari Allah Swt dan berulangkali melaksanakan ibadah haji tidak bisa menjadi ukuran kemabruran.
Kemabruran haji justeru sangat mungkin bisa diperoleh meski hanya sekali menunaikan ibadah haji asalkan dilanjutkan aktifitas yang bisa mendekatkan dan menjaga kemabruran. Pilihan untuk hidup bersama orang miskin selayaknya diambil. Karena ia menjadi tanda kemabruran yang nyata yang bisa ditaburkaan benih-benihnya di dunia ini.
Menabur benih-benih kemabruran saja belumlah cukup, ia harus dijaga, dirawat dan dipelihara. Melalui pemberdayaan orang miskin yang kontinyu, terukur dan berorientasi peningkatan taraf hidup di dunia, bukan tidak mungkin kemabruran akan diperoleh di akhirat nanti. Surga yang dijanjikan Allah Swt. pun didapatinya kelak.
Para jemaah haji patut berharap, di surga kelak akan bertemu dengan orang-orang miskin yang berhasil diberdayakannya. Rasulullah SAW bersabda; Orang-orang faqir (dari kalangan kaum Muslimin) akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun (Hadis diriwayatkan oleh At Tirmidzi).
Demikian artikel esai islami perjalanan spiritual tentang haji mabrur, menanam benih dan menjaga kemabruran haji. terpenting pesan dari artikel ini adalah menjaga haji mabrur dengan mau hidup bersama orang miskin. Karena di sana spiritualitas haji bisa dilanggengkan. Dan bagaimana menjaga kemabruran haji bisa diwujudkan. Wallahu A’lam Bishowab.