Trending

Orang Yang Berpuasa Itu Terhormat Di Hadapan Allah SWT

Orang yang berpuasa itu sejatinya adalah orang yang terhormat dan berkehormatan di hadapan Allah SWT., orang yang berpuasa tidak semestinya meminta dihormati oleh sesama manusia, mengapa?

Karena Allah SWT telah menetapkan orang yang berpuasa dengan ketetapan yang khusus; yaitu dari sisi ibadah puasanya dan dari sisi pahala yang Allah SWT janjikan, sesuai Hadits Rasulullah sallallahu’alai wa sallam, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (Hadits Riwayat Imam Bukhari, [1761] dan Imam Muslim [1946]).

Allah SWT berfirman, Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki (Al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat ke-26).

Firman Allah SWT dengan Hadits Rasulullah Muhammad SAW di atas, cukup sebagai dalil bukti yang sah dan secara syar’i tidak bisa dipungkiri kebenarannya dalam hal bahwa Orang yang berpuasa itu sejatinya adalah orang yang terhormat dan berkehormatan di hadapan Allah SWT.

Dalam kaitan ini, cara kita memahaminya harus dengan hati-hati; mendudukkan persoalan di level syari’at terlebih dahulu secara lebih utuh sebelum menyertakan kepada hal-hal yang berada di luar syari’at, misal masalah adab dan etika.

Mungkin atas dasar alasan adab dan etika kemudian ada tuntutan sebagaian orang muslim atas sesama muslim atau antara orang Islam dengan non-muslim berkaitan dengan penghormatan (dalam berbagai bentuk) terhadap orang yang berpuasa, atau terhadap bulan Ramadhan itu sendiri.

Mengapa ibadah puasa dikhususkan oleh Allah SWT? Dan bahwa orang yang berpuasa karenanya mendapatkan perlakuan khusus langsung dari Allah SWT, dan karena dari sudut pandang akal sehat, benar bukan bahwa Orang yang berpuasa itu sejatinya adalah orang yang terhormat dan berkehormatan di hadapan Allah SWT?

Firman Allah SWT “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” merupakan Kehendak sekaligus Rekognisi kepada dua-duanya; ibadah puasa itu sendiri dan kepada orang yang berpuasa. Apa akal sehat kita akan mengingkari pengakuan Allah SWT atas keduanya? Tentunya tidak akan pernah. Kehendak dan Rekognisi NYA ini bersifat Qathiy, tetap, dan tidak akan berubah.

Baca Juga : Jenis dan Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Makna ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’, dikandung maksud dan memiliki pengertian bahwa puasa termasuk ibadah yang paling Aku (Allah SWT) cintai dan paling mulia di sisi-Ku. Sehingga Ulama seperti Ibnu Abdul Bar mengatakan, ungkapan “Cukuplah ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’, itu sudah menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah rahdiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya.”

Ibadah Puasa di Ranah Sosial

Artikel Esai Ramadhan ini tidak hendak mengaburkan apa yang sudah qathiy di atas dan dipertegas sekali lagi, bahwa Orang yang berpuasa itu sejatinya adalah orang yang terhormat dan berkehormatan di hadapan Allah SWT.

Lalu mengapa sebagian di antara umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa secara terang-terangan “meminta dihormati oleh sesama manusia”? Bukannya ketika Allah SWT sudah menggaransi memberikan kehormatan kepada orang yang berpuasa sudah cukup dijadikan alasan untuk tidak meminta bentuk apapun penghormatan dari sesama manusia?

Ranah sosial memang tidak bisa dilepaskan dari konteks syari’at; sebagaimana pelaksanaan ibadah puasa di ranah kehidupan sosial kita sebagai umat Islam. Interaksi sosial yang beragam membentuk mindset, yang lebih bersifat etis dan ke-adab-an; misal bahwa naluri kemanusiaan kita tetap terkoyak melihat hal-hal yang berpotensi “merusak ibadah puasa” kita.

Pernah melihat orang yang sedang merokok sambil naik motor, sementara kita sedang menjalankan ibadah puasa? Reflek mindset sosial kita tentu akan berontak, sekecil apapun itu. Pernah menyaksikan warung makan tetap buka puasa, meski sudah ditutup dengan tirai? Rasanya mustahil jika hati kita kita yang sedang menjalankan puasa tidak menggerutu.

Mengapa hal ini terjadi? Karena realitas sosial telah membentuk mindset bahwa secara etis dan ke-adab-an, hal-hal semacam itu berpotensi mengganggu kualitas ibadah puasa kita. Saya katakan berpotensi, karena tentu tidak semua sepaham dengan yang saya sampaikan.

Mungkin, lebih banyak orang yang sedang berpuasa yang justeru tidak tergoda sama sekali dengan fenomena warung makan yang tetap buka di siang hari bulan Ramadhan. Mereka itulah orang yang berpuasa yang sudah sampai pada kesadaran dan pemahaman sejati tentang orang yang berpuasa itu adalah orang yang terhormat dan berkehormatan di hadapan Allah SWT. Karenanya, tidak membutuhkan bentuk apapun penghormatan dari sesama manusia.

Baca juga: Malam Lailatul Qadar, Mengapa Menjadi Rahasia Allah SWT?

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button