Keislaman, Kemusliman dan Keberislaman

Dalam keyakinan penulis sebagai seorang Muslim, “Islam adalah Agama Fitrah”. Keislaman Kita bersifat azali, taken for granted. Keislaman Kita tidak mengenal istilah turunan atau Agama Warisan.

Sehingga agama Islam yang Kita anut juga bukan warisan, melainkan Kehendak Allah SWT atas diri Kita. Tiga kata ini, Keislaman, Keberislaman dan Kemusliman, bisa menjelaskan hal itu. Keislaman, Keberislaman dan Kemusliman, memiliki akar kata yang sama; Islam, namun memiliki makna yang berbeda.

Islam Agama Fitrah

Keislaman adalah kondisi asal kepemelukan umat manusia kepada Agama Allah SWT, yaitu Dinul Islam. Keberislaman adalah kondisi kepemelukan manusia atas agama Islam yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi zaman, termasuk di dalamnya kebudayaan.

Sedang Kemusliman adalah aspek kualitatif keislaman dan keberislaman manusia dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Keislaman merujuk pada entitas Islam yang adi-kodrati (Sunnatullah) yang tak terbatasi dengan ruang dan waktu. Keislaman bersifat otentik, genuine, tetap dan tidak berubah. Tidak ada campur tangan manusia, dan selamanya menjadi rahasia Allah SWT.

Keislaman dalam pemaknaan sebagai “Agama Fitrah” itu dihubungkan dengan tafsiran ayat Al-Qur’an atas kata Fitrah dalam Surat Ar-Rūm ayat 30.

Sebagai Muslim, Kita wajib meyakini dengan sepenuh hati dalam pengertian sepenuh keimanan. Bahwa Agama Islam adalah agama (dari) Allah SWT. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (Al Qur’an, Surat Ali Imron: 19).

Sekali lagi, Islam bukan agama warisan dari nenek moyang Kita. Ini penting ditegaskan, agar kemurnian fitrah Islam tidak ternodai. Demikian juga keislaman Kita; tidak bergantung kepada siapapun, selain kepada (kehendak) Allah SWT.

Karena keislaman itu adalah kehendak Allah SWT, maka dapat dipahami bahwa eksistensi keislaman tidak saja bersifat azali, melainkan juga abadi.

Baca juga: Tren Ngaji Online, Mengaji di Ruang Digital

Internalisasi dan Eksternalisasi Islam

Keberislaman merupakan proses internalisasi dan eksternalisasi Islam sebagai agama yang berasal dari langit dan berproses membumi dalam peradaban manusia yang historis. Ia melalui proses dialog dengan zaman dan kebudayaan.

Keberislaman bisa dipahami sebagai perwujudan corak keberagamaan. Yaitu manifestasi keislaman dalam bentuk yang lebih operatif seperti nampak dalam pola-pola kepenganutan, kepemelukan dan kepengamalan, yang Kita kenali dengan ungkapan Ibadah.

Dalam pola keberislaman ini, karakter genuine Islam sebagai agama memudar akibat persentuhan dengan kultur masyarakat setempat sehingga coraknya menjadi heterogen.

Oleh sebab itu, Kita lalu mengenali pola-pola keberislaman yang berbeda-beda; ada keberislaman orang Indonesia, keberislaman orang Arab, keberislaman orang India dan seterusnya. Dalam keberislaman seperti itu, memungkinkan ditemuinya proses “waris mewariskan” dalam corak keberislaman yang berkarakter tradisi dan lokalitas.

Heterogenitas Keberislaman

Meskipun keberislaman itu heterogen, beranekaragam, namun dalam keberislaman itu ada yang bersifat tetap, yaitu keislaman itu sendiri. Keislaman yang bersendikan Tauhid, tidak akan berubah sebagaimana semua muslim meyakininya. Keislaman dengan Al Qur’an sebagai wahyu petunjuk dan pemandu kehidupan, juga tidak berubah.

Pun demikian dalam aspek keimanan dalam rukun iman yang enam, dan dalam aspek keislaman yang termanifestasikan dalam bentuk rukun islam yang lima. Heterogenitas keberislaman tidak serta-merta menghapuskan homogenitas keislaman semacam itu.

Corak heterogenitas keberislaman menjadi kenyataan historis yang tidak terelakkan. Munculnya poros keberislaman di dunia Islam dalam dua kutub Sunni dan Syi’ah merepresentasikan hal itu.

Di Indonesia, dengan banyaknya organisasi keagamaan Islam. Mereka juga mencerminkan perwujudan heterogenitas pola keberislaman. Hal itu berkembang seiring dengan proses dialektika keislaman dengan lokalitas tradisi dan budaya.

Bagaimana dengan kemusliman? Di antara Keislaman dan Keberislaman, ada yang penulis sebut dengan Kemusliman. Kita adalah seorang Muslim, penganut agama Islam, bersama dengan manusia lainnya yang kemudian membentuk komunitas keumatan yang Kita sebut Umat Islam.

Umat Islam hari ini dengan sbutan Muslimin dan Muslimat karena mengikuti risalah dan ajaran Nabi Muhammad SAW atas perintah Allah SWT dengan bimbingan wahyu Al Qur’an.

Baca juga: Laa Ilaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minadzolimin

Umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah prototip Muslim sejati, keislaman-keberislaman dan kemuslimannya bersifat syumul (sempurna) dan kaffah (menyeluruh). Dan dalam berislam, seorang muslim mempedomani firman Allah SWT “Masuklah ke dalam Islam (berislam) dengan kaffah”.

Kemusliman bukan sebuah label melainkan lebih merupakan gambaran kualitas keberislaman seseorang. Jika Nabi Muhammad SAW sebagai prototipe Muslim yang sejati, itu karena kualitas keberislamannya yang langsung dalam bimbingan wahyu Allah SWT.

Melalui dan dengan bimbingan wahyu Allah SWT pula, melalui pengajaran yang dilakukan oleh para Ulama pewaris Nabi, Kita diingatkan tentang kemusliman dan keberislaman kita, antara lain dengan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari.

Islam bukan Agama warisan

Penulis termasuk yang menolak pandangan bahwa Agama Islam adalah Agama Warisan. Mari kita analogikan dengan tinjauan wahyu Al Qur’an. Keislaman, keberislaman dan kemusliman Nabi Muhammad SAW tidak pernah Kita klaim sebagai “mewarisi” keislaman, keberislaman dan kemusliman dari Nabi Ibrahim Alaihissalam. Meskipun Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah juga seorang Muslim;

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi seorang muslim (berserah diri kepada Allah). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (Surat Ali Imran: 67).

Nabi Ibrahim Alaihissalam sendiri menegaskan bahwa ia adalah seorang Muslim:

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “BerIslam-lah (tunduk)!” Ibrahim menjawab, “Aku tunduk patuh (ber-Islam) kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub., “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam (keadaan) memeluk agama Islam.” (Surat Al-Baqarah: 131-132).

Dengan kalimat “Allah telah memilih agama ini (Islam) bagimu”, itu menunjukkan bahwa Islam adalah agama Allah SWT. Dan dengan penegasan “dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim” (Surat Ali Imran:102), firman imperatif ini dinyatakan agar umat Islam berpegang teguh pada kemuslimannya.

Sekali lagi, ini firman imperatif, bukan “firman warisan” yang dengan logika waris mewariskan tentu tidak berlaku untuk para Nabi sebelum Muhammad SAW. Sementara Nabi Ibrahim kita yakini juga mati dalam keadaan Muslim. Wallahu A’lam Bil Showab.

Baca juga: Ta’abbud dan Isti’anah, Makna dan Pengertian

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X Twitter juga Instagram dan Facebook

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button