Review

Resensi Buku: Fikih Kontekstual Aplikatif Gus Nadir

Artikel Fikih Kontekstual Aplikatif Gus Nadir ini merupakan ulasan atau resensi atas Buku Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual karya Nadirsyah Hosen.

Fikih Kontekstual Aplikatif Gus NadirDi tangan Fakih, para ulama ahli fikih, dari konsep hingga aplikasinya, fikih menyelami proses dialog-konseptualisasi atau ijtihad. Bergumul sangat panjang dan intens di antara sumber primer dan nilai-nilai universal dengan sumber sekunder dan nilai-nilai lokal.

Fikih, tidak selalu dalam ranah qath’i, melangit, tapi juga dalam ranah zhanni, membumi. Buku Ngaji Fikih ini mencoba membuka horizon baru dalam memahami fikih.

Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin, nilai-nilai Islam yang universal sudah bertemu dengan nilai-nilai lokal sosio geografis masyarakat. Sejarah persinggungan kedua nilai tersebut kemudian membentuk, menampilkan wajah dan corak Syariat Islam dan implementasi keberislaman umat Islam.

Fakta terbentuk dan terlembagakannya hukum islam, yang dikenal dengan fikih, juga tidak lepas dari persinggungan dan proses dialog-konseptualisasi dari dua nilai itu.

Syariat dan Fikih

Di Buku ini, Gus Nadirsyah Hosen wanti-wanti sejak awal perihal Syariat dengan Fikih, untuk dipahami substansi perbedaannya. Sebab, banyak umat Islam yang masih beranggapan bahwa Syariat itu sama (persis) dengan Fikih. Syariat memiliki pengertian yang sangat luas.

Namun dalam konteks hukum Islam,  syariat bermakna aturan yang bersumber dari nas yang qath’i. Sementara itu, Fikih adalah urusan hukum Islam yang bersumber dari nas yang zhanni (hlm. 2).

Pada entitas dirinya, sumber yang qath’i bersifat konstan, tetap, tekstualis. Tidak demikian halnya dengan yang zhanni. Ada keterlibatan yang intens orang-orang dalam proses Ijtihad dari sumber yang zhanni. Para Mujahid dikenal dengan Fakih, ulama ahli Fikih.

Mereka termasuk generasi salafussolih. Berproses mendialogkan dan mengkonseptualisasikan antara yang qath’i hubungannya dengan yang zhanni agar bisa dimunculkan sebuah produk ketetapan hukum Islam.

Proses tersebut adalah “memahami” dan “mengerti”. Dua kata itu termasuk makna asal dari kata Fikih, sehingga Fikih sebenarnya bisa dimaknai sebagai proses untuk mengerti, proses untuk memahami secara sungguh-sungguh dan bertanggungjawab.

Hasilnya, produk Fikih Islam, yang dalam khazanah Islam bisa dibedakan dengan Syariat, Teologi hingga Tasawuf. Fikih memberi bentuk konkrit dari prinsip-prinsip, norma-norma, nilai-nilai, dan perintah-perintah syariat.

Norma, nilai, dan perintah itu berasal dari Al-Qur’an dan selanjutnya dicontohkan melalui sunnah Nabi. Para Fakih terdahulu, lebih khusus para Imam Mazhab, berfikih, memahami, mengerti dan memperhatikan betul seluruh aspek dalam mendialogkan dan mengonspetualisasikan mekanisme pengambilan dan penetapan sebuah sistem hukum dalam  Islam.

Pun demikian, hasilnya tidak sama persis. Ada beberapa celah, terutama hubungannya dengan proses kontekstualisasi dan aplikasinya sehingga muncul keragaman pandangan fiqhiyah.

Baca juga: Bermadzhab Dalam Beribadah

Keragaman Fikih dan Akhlak

Melalui buku ini, Gus Nadir hendak mengajak kita memasuki horizon baru dalam mengaplikasikan fikih. Juga mengurai betapa keragaman fikih itu fakta sejarah nan luas untuk dikaji dan diaplikasikan.

Titik pijaknya dari sini: memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tetapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan (hlm. 7).

Dicontohkan, masih banyak orang yang 100% hendak mengikuti setiap tindakan Rasulullah SAW, secara rigid, apa adanya dan tekstualis. Cara ini berpotensi menimbulkan bahaya, jika praksis nyunnah tersebut kemudian diikuti dengan menganggap orang lain tidak nyunnah, kurang Islami, karena mengikuti Rasulullah secara tekstual sekaligus kontekstual.

Dalam ranah keragaman aplikasi fikih, anggapan tersebut mungkin masih bisa ditolerir. Yang tidak bisa ditolerir adalah jika karena perbedaan pemahaman dan praksis dalam mengaplikasikan fikih lalu berujung pada takfir, mengkafirkan sesama umat Islam.

us Nadir secara khusus membahas takfir ini, “Jangan Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim” (hlm. 118). Takfir dan sikap sejenis yang demikian itu hingga saat ini masih terus terjadi di tengah umat Islam. Bukan hanya di level fikih ibadah, melainkan juga sampai ke ranah fikih siyasah.

Fenomena takfiri di antara sesama umat Islam memang patut disayangkan. Sedangkan antar-ulama Mazhab, antar-ulama ahli Fikih, mereka sanggup untuk konsisten dan bertanggungjawab; meskipun berbeda pandangan, memegang teguh pendapatnya, bersamaan dengan itu menghormati dan menghargai pendapat ulama lainnya.

Imam Syafi’i berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; dari pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, yaitu Imam Hanbali. Imam Syafi’i perlu menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya.

Misalnya, Ia tidak melafalkan doa qunut saat shalat subuh di dekat makam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (yang berpendapat bahwa baca qunut itu bukan sunnah). Di balik cerita tersebut ada terbersit pesan tentang keagungan akhlak, kemuliaan adab, sekaligus ketinggian ilmu.

Penyelundup Demokrasi

Gus Nadir perlu mempertegas posisi tentang fenomena nir-adab sekelompok orang yang menolak (untuk mengikuti) empat Mazhab, tapi merasa diri paling benar, sedang kapasitas keilmuannya jauh di bawah ulama Mazhab. Berfatwa  hanya modal satu ayat.

Atau kebiasaan ustad di medsos yang suka nyiyir dalam menanggapi orang lain disertai ujaran kebencian. Sedang sekadar untuk bertanya dan menjawab pun, diperlukan adab. Gus Nadir perlu membuat bagian khusus tentang “Menempatkan Fikih dalam Bentangan Akhlak” (hlm 81) untuk mengupas hal itu

Dalam konteks fikih siyasah, Gus Nadir kembali menegaskan sekelompok umat Islam yang memaksakan dan mempropagandakan ide tentang pendirian khilafah islamiyah, di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Khilafah adalah ide yang tertolak di bumi Pancasila. Para pengusung khilafah adalah “penyelundup” demokrasi yang tidak bisa dibiarkan berkembang lalu merongrong dari dalam.

Pemerintah tidak boleh gamang mengambil strategi untuk menghentikan penyebaran ideologi khilafah demi memproteksi NKRI. Pembubaran HTI belum menunjukkan hasil konkrit bahwa ide-ide mereka berhenti berkembang.

Gus Nadir mengajak, “berhentilah memandang  persoalan HTI ini semata dari sudut kalkulasi politik. Melawan ideologi yang hendak mengganti Pancasila tidak bisa dilakukan dengan sikap gamang. Taruhannya terlalu besar untuk anak bangsa (hlm. 375)

Berfikih yang Moderat

Buku Ngaji Fikih ini memang bukan sebuah “Kitab Fikih”. Tidak berisi sekumpulan jenis-jenis ibadah, tanya jawab masalah fikih praktis doktrinal, yang langsung diberikan jawaban beserta dalil-dalilnya.

Buku ini lebih merupakan prolog memahami fikih dari aspek yang paling mendasar, yaitu sisi konseptual fikih itu sendiri, namun untuk beberapa kasus hukum Islam yang mencuat, sisi aplikatifnya sudah diberikan (Mengurai Beberapa Kasus Fikih Milenial, hlm. 390-442).

Nalar berfikih yang moderat, kiranya itu yang menjadi pesan kuat dari buku yang ditulis Gus Nadir bersama Ayahnya, Almarhum Prof. Dr. Ibrahim Hosen, L.M.L. Gus Nadir ingin nalar berfikih moderat itu membumi di kehidupan umat Islam, khususnya di Indonesia. Karena, Fikih Islam ikut andil besar dan bertanggungjawab untuk terciptanya Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.

Dengan nalar fikih yang moderat, kontekstual dan komprehensif, maka aplikasi fikih tidak terjebak kepada doktrin Islam yang rigid di masa lalu dan mengesampingkan peran fikih hari ini yang bersifat dinamis dan harus tetap menimbang aspek sosio kultural masyarakat.

Demikian artikel review atau resensi atas buku Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual karya Nadirsyah Hosen. Resensi Buku: Fikih Kontekstual Gus Nadir. Ulasan oleh Kang Nawar (Blog Post Author). Detail Buku sebagai berikut:

Judul   : Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual
Penulis : Prof. KH. Ibrahim Hosen, L.M.L. & Nadirsyah Hosen
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun  : I, 2020
Tebal   : xiv  + 444 halaman
ISBN   : 978-602-291-703-8

Kang Nawar

Hello ! Saya Kang Nawar aka. Munawar A.M. Penulis Freelance. Terima kasih sudah singgah di Blog Artikel Opini, Review & Esai Digital ini. Berkenan kiranya untuk membagikan artikel dan mengikuti saya di media sosial. Terima kasih sudah singgah. Saya berharap Anda akan datang kembali ke blog ini. Terima Kasih.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button