Memelihara Silaturahmi dan Menjaga Tradisi Halal Bi Halal
Memelihara silaturahmi erat hubungannya dengan menjaga tradisi halal bi halal. Keduanya memang berbeda secara tekstual. tapi ada titik temu dalam substansi makna nya. Asal Muasal Halal Bi Halal menjadi bagian dari sejarah praktik keagamaan di Indonesia. Dan tradisi halal bi halal merupakan bentuk perwujudan dari menghidupkan, melestarikan dan memelihara silaturahmi.
Kita pasti akan mendapatkan banyak manfaatnya jika secara terus menerus memeliharanya. Memelihara dari ancaman kerenggangan, keretakan hingga keterputusan tali silaturahmi. Semua bisa saja terjadi jika kita lalai karena disibukkan dengan urusan-urusan duniawi.
Hadits tentang halal bi halal
Kita beruntung memiliki tradisi Halal bi Halal, yang berlaku di masyarakat kita setelah Idul Fitri tiba. Dan kita tahu, Halal Bi Halal –baik di tingkat keluarga maupun perkantoran sudah lazim dilaksanakan – di sana, sangat memancarkan nuansa silaturahmi / persaudaraan yang damai dan indah.
Sebuah hadits tentang silaturahmi selengkapnya berbunyi demikian:
“Allah merahmati seseorang yang ketika ia mempunyai perbuatan salah dengan sesamanya, baik kesalahan itu berkenan dengan harta benda, ia datang kepadanya untuk meminta dihalalkan kesalahanya itu, sebelum dicabut nyawanya. Sebab, disana ( di akhirat) tidak ada dinar dan dirham untuk ganti rugi dari pelanggaranya itu sehingga apabila ia mempunyai amal amal kebaikan maka pahala kebaikan-kebaikanya itu diambil untuk membayar ganti rugi darinya. Dan jika ia tidak mempunyai amal kebaikan maka orang yang dirugikan hak-haknya akan membebankan kejelekan (dosa-dosa) mereka kepadanya.”(HR. Imam At Turmudzi dari sahabat Abu Hurairah / Sunan At-Turmudzi, Hadits no. 2.343; Nadharah an-Nur, II, hlm.41; Al-Fath Al-Kabir, II, hlm. 133).
Hadits tersebut di atas bisa Kita jadikan Hujjah yang tegas untuk pelaksanaan halal bi halal. Jika ada pertanyaan mana dalil ajaran halal bi halal, Hadits di atas bisa dijadikan rujukan sebagai dalilnya.
Ada juga hadits yang kandungan isinya menyatakan pentingnya halal bi halal, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, berikut ini:
“Barang siapa mempunyai perbuatan yang merugikan terhadap seseorang, baik mengenai kehormatanya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta halal darinya pada hari ini (dalam kehidupan dunia); sebelum datang kiamat dimana tidak ada lagi dinar dan dirham (untuk menebus ganti rugi dari pelanggaran hak ). Dalam keadaan itu, jika ia mempunyai amal saleh, akan diambil darinya sebesar pelanggaran yang ia lakukan. Dan jika ia sudah tidak mempunyai kebaikan lagi, akan diambilah amalan jelek dari kawanya itu lalu dipikulkan atau dibebankan atasnya.”(HR. Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah / Shahih Bukhari, hadits no.2.269; Musnad, Hadits No. 10.169).
Syaikh Abdur Rahim Ath-Thahthawi, dalam kitabnya Hidayah Al-Bari ( Jilid II, hlm. 225), menjelaskan Syarah hadits di atas dengan mengatakan :
“Al-‘Irdh (kehormatan) adalah harga diri seseorang, baik yang ada pada dirinya sendiri, maupun pada orang tuanya dan nenek moyangnya, ataupun ada pada anak cucu keturunanya. Lafal tahallul (yatahallah) maksudnya adalah membebaskan tanggungan atau beban dosa. Jadi bukan berati menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Lafal al-yauma (hari ini) maksdunya hari hari dalam kehidupan di dunia.”
Jika dalam HR. Imam At-Turmudzi diungkapkan dengan lafal fatahallahu yang artinya “lalu ia meminta maaf kepadanya dari pelanggaran (dosanya)” maka dalam Hadis Riwayat Imam Bukhari dinyatakan dengan ungkapan falyatahallahu yang artinya “maka minta maaflah kepadanya”.
Dari kata istihalla dan yatahallal yang berakar kata halal inilah terbentuknya kata halal bi halal. Istilah ini artinya secara harfiah ialah maaf dengan maaf. Maksudnya, permintaan maaf dari seseorang, dan setelah diberi maaf, lalu pihak yang memberi maaf itu ganti meminta maaf pula kepada orang tersebut. Atau dengan lebih jelas : saling meminta dan memberi maaf diantara dua orang. Atau maaf dibalas dengan maaf.
Halal bi halal, tradisi Jawa?
Ada sementara orang yang mempersoalkan bahwa susunan kata halal bi halal itu bukan susunan bahasa Arab, dan halal bi halal itu hanyalah adat atau tradisi jawa yang sudah meng-Indonesia; bukan perintah Agama. Benarkah demikian?
Tentang istilah, anadaikata halal bi halal bukan susunan bahasa Arab yang benar dan fasih, tentulah tidak menjadi soal, sebab itu hanya penamaan saja, sedangkan secara arti sudah dijelaskan dalam hadist shahih diatas.
Kita tahu, ada Shalat dinamakan Shalat Tarawih yang artinya Shalat Istirahat. Padahal, Shalat itu suatu perbuatan dan pengucapan lafal lafal tertentu; mengapa disebut istirahat ? itulah penamaan istilah bagi suatu kegiatan atau rangkaian perbuatan. Padahal sebenarnya “istirahat”nya itu sudah berada diluar Shalat, yaitu setelah dua kali salam lalu istirahat sebentar, kemudian meneruskan Shalat lagi.
Bila kita simak dalam Al Quran maupun Hadits, susunan ungkapan yang sejenis dengan lafal halal bi halal juga bisa Kita temukan. Didalam Surat Al Maidah :45, ada beberapa susunan yang jelas bunyinya : (Hukuman qishash adalah) “jiwa dibalas jiwa”, “mata dibalas mata”, “hidung dibalas dengan hidung”, telinga dibalas dengan telinga”, dan “gigi dibalas dengan gigi pula”.
Dalam ayat diatas ada lafal an-nafsu bi an-nafsi, al-‘ainu bi al-‘aini, al-udzunu bi al-udzuni, dan as-sinnu bi as-sinni. Demikian pula, istilah halal bi halal juga bisa disebut secara utuh, yakni : al-halalu bi al-halali, yang artinya “pemaafan dibalas dengan pemaafan”.
Tidak hanya dalam Al Quran, didalam hadits pun ada ungkapan yang susunanya sama dengan susunan kata halal bi halal. Misalnya, hadits riwayat Imam Muslim berikut :
“penukaran garam dengan garam, sejenisnya dengan sejenisnya, sama ukuranya dengan yang sama ukuranya pula, dan tangan dengan tangan (penyerahan disambut dengan penerimaan)”. (HR. Imam Muslim / Subul as-Salam, III, hlm.37 )
Bentuk susunan al-milhu bi al-milhi, mitslan bi mitslin, sawaan bi sawain, yadan bi yadin, semuanya sama bentuknya dengan susunan kata halal bi halal. Lalu apalagi yang mau dipermasalahkan? Apa bahasa Al Quran dan hadits masih dinilai tidak fasih karena susunannya sewazan den setipe dengan halal bi halal?.
Demikian sekelumit artikel tentang Memelihara Silaturahmi dan Menjaga Tradisi Halal Bi Halal. Silakan klik -> Tinjauan Islam tentang tradisi halal bi halal untuk menambah wawasan tentang tradisi silaturahmi, semoga bermanfaat.