Esai Islami

Indonesia Kiblat Madzhab Sunni Untuk Dunia Islam

Madzhab Sunni diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia, sehingga tidak ada salahnya untuk dinyatakan bahwa hari ini, Indonesia menjadi “Kiblat Madzhab Sunni” untuk dunia Islam. Ormas keagamaan Islam di Indonesia seperti  Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Jamiyyah Al Washliyyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Persatuan Umat Islam Indonesia, Nahdlatul Wathan, al Khaerat dan lainnya, semuanya pernah dan masih bersinggungan dengan Madzhab dalam hal Ibadah.

Dinamika Madzhab

Ada masa dimana diskursus tentang perlawanan dan pendobrakan atas belenggu keterikatan dengan satu Madzhab meningkat, menguat dan perlawanannya sedemikian nyata, tidak hanya perlawanan yang bersifat intelektual (perang pemikiran), namun pernah mengarah pada konflik-horisontal antar pengikut Madzhab.

Dan konflik itu semakin menjadi-jadi karena masuknya unsur kepentingan politik dan kekuasaan di dalamnya, akibat pelembagaan Madzhab. Madzhab dijadikan penopang resmi kekuasaan, masuk dan mewarnai kekuasaan, menjadi Madzhab resmi negara.

Dari negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Arab Saudi dan semenanjung Arabia lainnya, bermunculan para Mujtahid dan Mujaddid (pembaharu) Islam. Pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho kita ketahui pengaruhnya sangat besar dalam gerakan pemurnian Islam, termasuk pendobarakan Madzhab. Pengaruh mereka sangat kuat dalam tubuh organisasi keagamaan Muhammadiyah sebagai golongan modernis Islam di Indonesia .

Muhammadiyah bisa dikatakan berhasil dalam hal melepaskan diri dari belenggu Madzhab, mereka memilih menyublimasikan potensi intelektualismenya ke dalam Majelis Tarjih, sebuah lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan ibadah dan keislaman terkait.

Sementara Nahdlatul Ulama (NU) memiliki Lembaga Bahtsul Masail. Bedanya, Nahdlatul Ulama dengan corak intelektual progresif-tradisionalnya, tetap menjunjung tinggi pendapat empat Imam Madzhab.

Baca juga: Bermadzhab Dalam Beribadah

Gerakan Salafi-Wahabi

Dalam dua dasarwa terakhir, peta kepenganutan atas Madzhab oleh umat Islam di Indonesia mengalami perubahan dengan hadirnya “Madzhab Salafi-Wahabi”, sebuah gerakan orientasi keislaman yang dimotori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang merupakan penerus dari Ibnu Taimiyah.

Gerakan Salafi-Wahabi ini cukup mewarnai dinamika pemikiran Islam lebih khusus lagi dalam persoalan ibadah, di Indonesia. Pengikut Salafi-Wahabi memang sangat getol mengampanyekan pemurnian Islam dengan jargon kembali ke Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW melalui berbagai media; menebar ajaran melalui media internet dan pendirian lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan.

Dalam gerakan dakwahnya, para pengikut Salafi-Wahabi di Indonesia sangat kental dengan nuansa pendobrakan hingga cenderung “mendelelgitimasi” pendapat para Imam Madzhab, ulama-ulama pendukung Madzhab, dan mayoritas umat Islam pengikut Madzhab.

Para pengikut Salafi-Wahabi cenderung tidak bisa menghindarkan diri dari klaim kebenarannya, esklusif dan sering melontarkan pernyataan-pernyataan takfiri, menganggap di luar mreka sebagai kafir. Apakah Salafi-Wahabi merupakan sebuah Madzhab?

Sebagian besar Ulama di Indonesia, tidak dianggap sebagai Madzhab, ia lebih cenderung mendekati sebuah sekte, atau yang dalam Al Qur’an disebut sebagai Ahzab, jama’ dari kata Hizb.

Bahwa gerakan dakwah ala pengikut Salafi-Wahabi berpotensi menimbulkan perpecahan dan perselisihan di lingkungan umat Islam Indonesia. Keheningan dan kekhusu’an ibadah Islam pengikut Madzhab –khususnya Madzhab Syafi’i– di Indonesia, memang sudah secara sistemik terusik dengan hadirnya pengikut Salafi-Wahabi.

Kita sepatutnya berharap kepada pengikut Salafi-Wahabi untuk lebih takhalluq dalam berdakwah, karena hal itu merupakan suatu yang niscaya, jika tidak, bukan tidak mungkin resisistensi pengikut Madzhab di luar Salafi-Wahabi di Indonesia akan semakin meningkat.

Kiblat Sunni

Akibat tidak langsung dari polarisasi berMadzhab, karakter Islam di Indonesia muncul sekurang-kurangnya dalam bingkai “Madzhab” Sunni-Syiah-Wahabi. Tidak perlu ditutup-tutupi bahwa Syiah dan Wahabi memang berkembang di Indonesia.

Keduanya cenderung lebih terbuka dan lebih berani menampakkan diri. Perkembangan semacam ini tidak bisa dihindari dan terjadi karena proses globalisasi keislaman yang didukung dengan diplomasi politik-ekonomi-pendidikan dalam jaringan internasional, baik melalui jalur kenegaraan maupun jaringan lembaga internasional, juga jaringan Ulama dan intelektual berbasis pendidikan dan kebudayaan.

Madzhab Sunni diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia, sehingga tidak ada salahnya untuk dinyatakan bahwa hari ini, Indonesia menjadi “Kiblat Sunni” untuk dunia Islam. Ormas keagamaan Islam di Indonesia seperti  Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Jamiyyah Al Washliyyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Persatuan Umat Islam Indonesia, Nahdlatul Wathan, al Khaerat dan lainnya, semuanya pernah dan masih bersinggungan dengan Madzhab dalam hal Ibadah.

Bahkan boleh dikatakan mereka tidak pernah benar-benar melepaskan diri dari Madzhab Sunni. Namun, masing-masing menempuh jalan tajdid atau pembaharuan dengan paradigmanya sendiri-sendiri dalam level sebagai organisasi keagamaan.

Mereka, ormas keislaman yang ada tersebut, dalam sejarahnya di Indonesia, tidak pernah menjadi dominan dan superior atas yang lainnya. Menariknya lagi, antar ormas memang pernah terjadi pertentangan sengit dalam hal kaifiyah atau tata cara ibadah, dan itu diakui bukan dalam ranah aqidah, melainkan dalam ranah furu’iyah (cabang) syariah atau ajaran peribadatan.

Namun belum pernah terjadi kekerasan dan peperangan antar ormas yang mengatasnamakan kebenaran kaitannya dengan kepenganutannya terhadap suatu Madzhab. Jika belakangan muncul percik-percik api perpecahan, itu hampir bisa dipastikan karena keterbukaan “perang pemikiran”, antara Sunni-Syiah-Wahabi di Indonesia.

Madzhab Syafi’i

Spirit Madzhab Sunni, lebih khusus lagi Madzhab Syafi’i yang ada pada hampir setiap ormas keislaman yang membentuk wajah Islam Indonesia seperti sekarang ini — yaitu Islam yang ramah, toleran, damai, lebih menunjukan rahmah daripada amarah.

Ini karena pemikiran-pemikiran dan pandangan Madzhaby tidak tidak dilembagakan sebagai Madzhab Resmi Negara. Beda dengan Syiah dan Wahabi yang dilembagakan di Iran dan Saudi Arabia. Karena pelembagaannya memiliki kecenderungan untuk dimanipulasi oleh pemerintah dalam menjalankan kekuasaan, kebijakan dan politiknya.

Saya khawatir jika Madzhab Syafi’i di Indonesia dilembagakan, justeru akan dibawa ke ranah politik oleh penguasa sehingga dijadikan alat penguasa. Ia tidak akan menghadirkan maslahat, melainkan madlarat. Madzhab Syafi’i di Indonesia akan lebih hidup, bisa bertahan dan berkembang, bukan melalui Negara, melainkan melalui ormas keagamaan yang ada. Fungsi negara di sini, adalah mengayomi dan melindungi ormas keagamaan. Wallahu A’lam Bishowab.

Kang Nawar

Hello ! Saya Kang Nawar aka. Munawar A.M. Penulis Freelance. Terima kasih sudah singgah di Blog Artikel Opini, Review & Esai Digital ini. Berkenan kiranya untuk membagikan artikel dan mengikuti saya di media sosial. Terima kasih sudah singgah. Saya berharap Anda akan datang kembali ke blog ini. Terima Kasih.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button