Tidak Hafal Teks Pancasila, Ironi Anak Bangsa dan Krisis Literasi

Tidak hafal teks Pancasila mencerminkan dua aspek sekaligus; fenomena ironi anak bangsa yang berideologi Pancasila dan juga cermin krisis literasi. Semestinya hal itu tidak terjadi.
Tapi ini benar-benar terjadi; di Lumajang Jawa Timur, Ketua DPRD Kabupaten Lumajang mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPRD lantaran tidak hafal (salah satu) teks Pancasila.
Mari segarkan kembali ingatan kita atas bunyi teks Pancasila, dengan begitu kita berkesempatan untuk kembali hafal. Jika perlu, lakukan dengan berulang-ulang.
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Lalu, mengapa ada orang yang tidak hafal teks Pancasila? Tentu banyak faktor yang bisa dicari dan dipahami.
Sebagai anak bangsa, sewajarnya kita hafal teks Pancasila. Saya menggunakan ungkapan sewajarnya, bukan seharusnya. Sebab, tidak semua dari kita memiliki kemampuan menghafal dalam pengetian verbal.
Alasan mengapa kita sewajarnya hafal teks Pancasila; karena hanya terdiri dari 5 sila, 187 huruf dan 25 kata. Cukup pendek sebenarnya, dan bisa dihafalkan di kala senggang. Alasan lain mengapa kita sewajarnya hafal teks Pancasila; karena ia merupakan teks sakral bagi segenap anak bangsa Indonesia.
Sejak usia dini, kita sudah diperkenalkan dengan teks Pancasila; di pendidikan dasar, menengah, atas hingga perguruan tinggi; ke-Pancasila-an masih tetap diajarkan dengan bergai macam perubahan nama pelajaran untuk hal itu.
Tidak hafal teks Pancasila, di samping bentuk ironi bagi anak bangsa, juga mencerminkan krisis literasi, yang tercermin dalam rendahnya minat baca. Memang, ada korelasi langsung antara membaca dengan menghafal; semakin sering membaca, semakin berpotensi untuk hafal;
Demikian juga halnya dengan teks Pancasila. Semakin sering dibaca, tentu semakin berpotensi untuk hafal, di luar kepala. Akan halnya menghafal itu sendiri, bisa lepas meski tidak secara langsung dari proses membaca. Namun, harus dinyatakan bahwa hafal sangat bergantung pada praktek membaca.
Ke depan, tentu kita tidak ingin mendengar lagi kabar anak bangsa tidak hafal teks Pancasila; karena ini seharusnya tidak terjadi di level masyarakat dengan budaya literasi yang tinggi. Sebaliknya, jika tidak hafal, sangat boleh jadi karena faktor rendahnya budaya literasi. Jadi, ada faktor-faktor penyebab di dalamnya yang tidak bisa digeneralisir.