Jejak Waktu

Mengantar Anak Kembali Belajar Ke Sekolah dan Pesantren

Dan…, anak pun kembali belajar. Hari ini, 15 Februari 2021, Kami mengantar anak ke Sekolah dan Pondok Pesantren untuk kembali belajar, setelah lebih dari 6 bulan belajar daring di rumah. Ada banyak rasa; haru, senang, bangga dan sekaligus rindu yang menghadang.

4 Bulan berjalan, sejak Maret-Juni 2020, hingga saat ini, Februari 2021. Harus mendampingi anak-anak. Orang tua juga mau tidak mau ikut masuk dalam tradisi belajar daring / online. Rupanya, sudah tiba saatnya; mengantar kembali anak untuk belajar.

Dari sejak setengah bulan sebelum kebrangkatan, segala sesuatunya diberitahukan, utamanya untuk persiapan. Pihak Pesantren dan sekolah, yang selama ini terhubung dengan jaringan WhatsApp, telah memberitahu Kami sebagai orang tua murid atau santri, hal-hal yang perlu disiapkan.

Maklum, karena wilayah di Kabupaten Kami, masih dalam “ancaman” pandemi covid-19. Sebagaimana di beberapa wilayah dan sekolah-pesantren. Banyak yang masih menutup-diri, belum membuka akses, masih melaksanakan pembelajaran daring.

Sebelum mengantar, sempat terfikir bagaimana kesiapan pihak pesantren dan sekolah. Tapi Kami percaya. Dengan memberitahu anak untuk kembali belajar, ini signal positif yang harus diapresiasi. Selama pembelajaran daring, memamg banyak hal yang selalu dikomunikasikan.

Baca juga: Kebutuhan Menemani Anak Saat Mengakses Internet

Dari Daring ke Luring

Semua rindu sekolah, sekolahan dan pondok pesantren. Sebaliknya, sekolah dan pesantren rupanya juga tidak mungkin menutup diri yang lebih lama lagi, karena tanggungjawab yang sudah digariskan sebagai penyelenggara pendidikan.

Di antara lembaga dan tanggungjawabnya, ada Guru, Pendidik, Ustad, Kyai, dan murid / santri. Mendengar sedikit keluhan tentang fakta belajar anak secara daring. Anak yang belajar kurang efektif. Atau Guru Ustad yang harus lebih banyak standby di depan Handphone. Bukan semata persoalan kuota internet yang selesai dengan beberapa bentuk bantuan, tapi lebih pada kualitas Daring yang dirasakan semakin tidak efektif.

Dari Daring ke Luring akhirnya ditempuh. Semuanyapun harus benar-benar disiapkan. Sebagai wali atau orang tua murid, merasa ada harapan baru; harapan ditemukannya suasana pembelajaran yang lebih efektif. Interaksi Guru-Murid yang intens (meski masih terbatas), bisa mengebalikan semangat para Guru.

Ya, mereka -para Guru, Pendidik, Ustad, Kyai- sudah sangat lama dan semakin jauh dari interaksi tatap muka dengan murid-murid atau santri. Disinyalir, selain tidak efektif, ketiadaan tatap muka antara guru-murid, kyai-santri, menjadi penghambat transfer ilmu dan kounikasi pembelajaran pada umumnya.

Kami bersyukur, Anak kembali belajar, mengantar pun dengan semangat. Tiba di sekolah/pesantren, protokol kesehatan tetap diterapkan. Kami hanya boleh mengantar sampai gerbang setelah sekian pemeriksaan (kesehatan dan barang bawaan). Alhamdulillah, Anak juga terlihat siap untuk menjalani belajar luring dengan cara yang masih terbatas. Semoga anak banar-benar menemukan caranya untuk kembali belajar.

Bersalaman dan Lambaian tangan memisahkan Kami; perpisahan yang kami rencanakan, untuk harapan kebaikan dan kebaikan yang berlipat ganda. Selamat kembali belajar, Anakku.

Baca juga: HAN 2020: Anak Terlindungi, Indonesia Maju

Kang Nawar

Hello ! Saya Kang Nawar aka. Munawar A.M. Penulis Freelance. Terima kasih sudah singgah di Blog Artikel Opini, Review & Esai Digital ini. Berkenan kiranya untuk membagikan artikel dan mengikuti saya di media sosial. Terima kasih sudah singgah. Saya berharap Anda akan datang kembali ke blog ini. Terima Kasih.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button