Ramadhan Berakhir dan Pergi, Ada Rindu dan Sesal

Kita sudah terbiasa dengan kedatangan dan kepergian bulan Ramadhan, namun mengapa saat ramadhan segera berakhir dan segera pergi meninggalkan kita, ada hadir perasaan rindu mendalam, atau bahkan sesal yang menghujam?
Sebentar lagi tiba saat Ramadhan harus berakhir dan bulan puasa yang mulai pun akan bergegas meninggalkan kita, perpisahan pun menjelang. Kemudian, baik kiranya kita bedoa dan berharap. Berkenan kiranya Allah SWT mempertemukan kita kembali dengan bulan Suci Ramadhan di tahun depan.
Sudah berapa umur kita saat ini, sejumlah umur itu pula kita sudah melewati bulan Ramadhan. Sudah berapa hari menjalani kewajiban puasa? Sejumlah umur kita pula kali 30 hari dengan hitungan rerata 1 bulan Ramadhan. Tentu sejak kita terkena hukum wajib berpuasa dan tidak dalam keadaan berhalangan secara syar’i.
Jika umur kita saat ini sudah 45 tahun, dan patokan usia aqil baligh 15 tahun, maka kita sudah menjalani puasa Ramadhan selama 30 bulan. Dan seterusnya bisa berhitung sekadar untuk refleksi dan atau renungan.
Demikian juga jika umur kita saat ini sudah 50 tahun, berarti kita sudah 50 kali menyambut, berjumpa dan mengisi bulan Ramadhan. Menjalani puasa wajib dan ibadah lainnya sebagaimana menjadi anjuran hingga Sunnah.
Rindu Ramadhan
Bagaimana Ramadhan yang akan segera berakhir bisa menghadirkan rasa rindu (bahkan sesal) untuk kita?
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya, empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.” (Al-Qur’an Surat At-Taubah: 36).
Datang dan perginya bulan Ramadhan merupakan ketetapan dari Allah SWT. Yang kita butuhkan adalah sikap keislaman kepasrahan (Islami) sebagai pengejawantahan dari pelaksanaan rukun Islam. Juga sikap keimanan (Imani, keyakinan) sebagai implementasi dari Rukun Iman (Iman kepada Allah SWT yang telah menurunkan perintah kewajiban berpuasa Ramadhan).
Menjalani puasa Ramadhan puluhan bulan dalam kurun waktu tertentu semestinya bisa meneguhkan sikap keislaman dan keimanan. Bukan hanya terhadap kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan itu sendiri. Melainkan bisa masuk ke ranah terdalam puasa, spiritualitas puasa. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berpuasa itu terhormat di hadapan Allah SWT
Sisi terdalam spiritualitas puasa antara lain sebagai Allah SWT berfirman daalm Hadits Qudsi: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,” (Hadits Riwayat Abu Hurairah RA). Kemurahan Allah SWT atas kehendak untuk membalas ibadah puasa kita inilah yang membuat kita rindu dan merindukan Ramadhan.
Rindu adalah perasaan sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu. Rindu Ramadhan juga bisa berarti memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Baca juga: Ramadhan: Kedatangan, Pemberhentian dan Keberangkatan
Yang membuat kita rindu akan hadirnya bulan Ramadhan, adalah karena di bulan ini Allah SWT sendiri yang berjanji untuk membalas ibadah puasa kita. Sementara kita hanya bisa berprasangka baik kepada Allah SWT atas puasa kita dan pahalan balasan yang dijanjikanNya.
Kita juga selayaknya senantiasa merindukan Ramadhan. Mengapa? Karena Surga merindukan empat golongan orang, yaitu: Orang yang membaca Al-Qur’an, Orang yang menjaga lisannya, Orang yang memberi makan orang lapar, Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan (Hadits Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Sesal dan Merasa Bersalah
Lalu, Bagaimana Ramadhan yang akan segera berakhir bisa menghadirkan rasa sesal (selain rindu) untuk kita?
Sesal adalah perasaan sedih atau kecewa yang muncul karena telah melakukan kesalahan atau perbuatan yang kurang baik, tidak tepat, atau tidak semestinya. Rasa sesal hampir pasti beriringan dengan rasa bersalah. Keduanya bisa menjadi sebab akibat. Menjadi menyesal karena telah melakukan kesalahan dan karenanya merasa bersalah.
Jika sesal dihubungkan dengan akan berakhir dan perginya bulan Ramadhan, maka bukan Ramadhannya yang membuat kita menyesal. Melainkan lebih pada cara kita dalam memperlakukan bulan Ramadhan. Rasulullah SAW sudah wanti-wanti, sudah memberikan warning: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga.”
Kita patut prihatin dan menyesali fenomena orang yang tidak berpuasa, tapi dengan sengaja memamerkan diri di hadapan orang yang sedang berpuasa. Entahlah ini fenomena apa sebenarnya. Bisa jadi karena ketidaktahuan. Atau bisa jadi karena semakin menipisnya kadar keislaman dan keimanan sebagian di antara kita yang sengaja tidak menjalankan ibadah puasa. Ini adalah salah satu cara tidak menjaga kesucian Ramadhan dengan hati dan perilaku bersih
Mari kita lihat kembali, seperti apa dan sejauh mana kita memperlakukan Ramadhan yang sebentar lagi akan berakhir dan pergi. Jika ada hal-hal yang membuat kita merasa bersalah, itu jauh lebih baik. Artinya, merasa bersalah itu adalah perasaan yang baik untuk dijaga sebagai bentuk introspeksi diri, muhasabah diri.
Rasa bersalah yang berujung sesal hubungannya dengan bulan Ramadhan itu bisa berupa banyak hal. Misalnya, tidak memuliakan, menyepelekan, menganggap enteng atau bahkan menghinakan bulan Ramadhan dengan cara tidak melaksanakan ibadah puasa yang disengaja. Atau tetap menjalankan berbagai bentuk kemaksiatan selama bulan Ramadhan. Na’udzubillah Min Dzalik.
Menutupi Sesal dan Memupuk Rindu
Jika ada sesal dan merasa bersalah sementara Ramadhan akan berakhir dan pergi, maka baik kiranya menyambut kemurahan Allah SWT yang membuka seluas-luasnya pintu pertobatan. Taubat adalah jalan terbaik untuk menutupi sesal (memohon ampun untuk terhapusnya dosa) atas perlakuan kita yang tidak semestinya terhadap kesucian Ramadhan.
Memang, Ramadhan akan berakhir dan pergi, tapi Ramadhan juga pasti akan kembali sesuai ketetapan Allah SWT. Dan itu yang mestinya membuat kita rindu akan Ramadhan (untuk ke sekian kalinya) dalam hidup kita. Sehingga sebagai umat Islam yang beriman, sewajarnya memupuk rindu untuk kelak bisa berjumpa lagi dengan Ramadhan.
Ramadhan dan dengan menjalankan ibadah puasa wajib di dalamnya, adalah cara Allah SWT meyakinkan umat Islam agar semakin kokoh menaati perintahNya. Dan menyembah hanya kepadaNya. Dan sebagai respon kehambaan, di bulan Ramadhan kita memaksimalkan ibadah dan amal shalih lainnya.
Cara memupuk rindu atas Ramadhan digambarkan Sufi Jalaluddin Rumi dengan sindiran yang mendalam berikut ini. Tuhan yang engkau sembah di bulan Ramadhan adalah Tuhan yang sama yang engkau jauhi di bulan-bulan selain Ramadhan. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda?
Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, Shiyamana wa Shiyamakum. Semoga Allah SWT berkenan menerima ibadah puasa kita semua. Dan mengijinkan untuk memupuk rindu untuk pertemuan dengan Ramadhan tahun depan.