Petasan di Bulan Ramadhan, Tradisi dan Nilai Ekonomi
Bulan Ramadhan identik dengan petasan. Di bulan bulan Ramadhan petasan seolah menjadi tradisi dan budaya yang memiliki nilai ekonomi bagi produsen dan penjual berbagai jenis petasan, bulan Ramadhan juga merupakan momentum menuai berkah.
Sebab, di bulan suci ini, tingkat penjualan petasan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat penggemar petasan. Namun, seperti contoh diatas, bukan berkah yang didapat, melainkan musibah
Produksi dan jual beli petasan
Sementara itu, bagi sebagian masyarakat memproduksi petasan sudah menjadi bagian dari mata pencaharian. Di sana, pabrik petasan sudah menjadi home industri dengan tingkat pengawasan dan pengendalian yang tinggi dari aparat berwenang. Berbagai macam jenis petasan didistribusikan dari kota-kota kecil hingga ke Ibu Kota.
Sisi ekonomis yang menjanjikan dari produksi dan jual beli petasan. Hasil dan keuntungannya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, membiaya sekolah anak-anak dan membangun rumah. Memproduksi petasan tidak serta-merta membutakan mereka akan risiko paling buruk akibat mal-produksi, seperti percikan api yang memicu ledakan yang mengakibatkan kebakaran.
Sejauh ini, banyak kasus yang merenggut korban jiwa. Bukan hanya dari kalangan produsen, tapi juga dari konsumen, pengguna/ penyulut petasan. Yang tak kunjung meredakan kekhawatiran kita adalah bahwa banyak penyulut petasan tersebut dari kalangan anak-anak dan remaja. Di bulan Ramadhan, mereka gemar bermain-main dengan petasan.
Baca juga: Tahun Baru, Terompet dan Hujan
Suara petasan yang menggelegar dan mengagetkan warga tentu membuat resah warga. Keresahan itu bukan tanpa alasan karena petasan yang menggelegar di sana-sini menggunakan bahan peledak sebagai bahan bakunya, meski kadarnya sangat rendah. Itu jelas berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain. Selain mengagetkan, suara petasan juga mengganggu kekhusu’an ibadah Ramadhan.
Petasan, khususnya di bulan Ramadhan, tetap saja menjadi fenomena. Ia seperti benang kusut yang susah diurai karena sudah menjadi bagian dari tradisi. Mungkin bagi penyulutnya menghadirkan kepuasan dan kegembiraan sekaligus, meskipun nyatanya memberi efek berisik, mengganggu, lebih banyak madharat dari pada manfaatnya.
Selain telah menjadi fenomena sosial, peredaran petasan yang massif, baik jenis petasan korek api, petasan kertas, maupun petasan banting, petasan terbang, dan kemudahan akses untuk mendapatkannya, menjadi faktor pendukung konsumsi berlebihan dari masyarakat penggemar petasan.
Peraturan Kapolri Nomor 2 tahun 2008
Pemerintah melalui Kepolisian Republik Indonesia telah mengatur izin edar segala jenis “bahan peledak” hingga “bunga api” sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial.
Dalam Peraturan itu, petasan tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan dikategorikan dalam “bunga api” dengan berbagai macam variannya. Peraturan itu pula yang dijadikan alat untuk menjerat pengedar dan penjual petasan di samping Undang-undang Darurat RI Nomor 12 tahun 1951. Masyarakat penggemar petasan perlu mengetahui kedua aturan tersebut.
Untuk meyakinkan masyarakat –dilihat dari aspek madharat dan manfaatnya– kalangan Ulama telah memberikan anjuran, fatwa hingga keputusan tentang petasan. Namun apalah artinya anjuran dan fatwa jika tidak dimengerti maksud dan substansinya.
Penyulut petasan, apalagi dengan konsumsi yang besar, jelas bisa dikategorikan sebagai pemboros/mubadzirin. Mungkin patut dipertimbangkan untuk “membelenggu petasan” di bulan Ramadhan. Disamping bisa menjadikan penyebab konsumtif juga mengganggu orang yang beri’tikaf di bulan Ramadhan.
Bagaimana dengan mercon bumbung bambu ? Bukannya ini juga membahayakan??