Mudik Spiritual Idulfitri, Bersih Diri di Kampung Halaman

Proses kembalinya komunitas urban secara kolektif hampir pasti terjadi pada saat Hari Raya Idulfitri tiba. Proses ini lazim disebut dengan mudik, yang dalam arti harfiyah berarti “kembali ke udik” (udik =  kampung halaman). Bagi komunitas urban yang pemudik itu, mudik Idulfitri (mudik spiritual) telah menjadi agenda tahunan.

Dan entah mengapa, mudik juga terjadi pada hari-hari libur nasional atau hari-hari libur keagamaan lainnya, meski tidak secara kolektif. Ritus mudik dalam pandangan Jacob Sumardjo (2001) diakibatkan oleh kultur masyarakat yang disebutnya sebagai “masyarakat sawah”.

Dahulu, “masyarakat sawah” dicirikan oleh aspek lokalitas, misalnya tampak dalam kesatuan tempat tinggal sebagai dasar tumbuhnya nilai-nilai sosial, termasuk solidaritas. Itu terjadi karena untuk “bersawah”, sering didahului dengan “babat alas” (membuka hutan atau lahan) yang tidak bisa dilakukan secara individu, sebaliknya memerlukan tenaga yang besar, banyak dan kolektif, sebelum teknologi pertanian muncul.

Untuk melengkapi keperluannya, secara kolektif pula dibangunlah saluran-saluran irigasi, cara bertanam beramai-ramai, mencegah serangan hama dan menuai panen. Dalam menuai panen, sering didahului dengan upacara-upacara yang bernuansa religi.

Upacara bernuansa religi tidak hanya dalam konteks “religi sawah” melainkan sangat kental pula dalam tradisi gotong royong, kerja bakti, bersih desa hingga ziarah dan bersih makam. Yang disebut belakangan masih sering dijumpai menjelang datangnya bulan Ramadhan (nyadran), atau menjelang Idulfitri tiba.

Pada peristiwa, komunitas pemudik sudah bisa ditemui di sana. Penghormatan atas leluhur di atas makamnya hanya bagian kecil saja dari kultur bagaimana masyarakat masuk dalam lingkaran “mudik” kultural dalam pengertian luas. Bagian kecil lain jelas; bahwa penghormatan itu ditujukan oleh komunitas pemudik kepada sanak famili, kerabat dan keluarganya persis di hari Raya Idulfitri.

Dalam nuansa tersebut, ciri lokalitas kemudian masih sangat mungkin bisa ditemukan, meski sudah terjadi pergeseran dalam hal bahasa maupun gaya hidupnya akibat persinggungan kultur kehidupan di kota. Jika ditelusuri lebih lanjut, konteks mudik telah mengalami polarisasi di tingkat pelaku; di mana mudik Idulfitri tidaklah khas milik umat Islam, melainkan milik seluruh bangsa, utamanya komunitas urban.

Jadi, tidak bisa dikategorikan bahwa mudik semata-mata milik komunitas “perdesaan” meski dominan adanya yang tinggal di kota-kota besar, melainkan juga milik komunitas urban kelas menengah perkotaan, baik muslim maupun non muslim, hingga kelas menengah ke atas.

Mudik dalam konteks spiritual bisa dikatakan sebagai puncak “bersih diri” sehingga sifatnya–dalam konteks “masyarakat sawah” di atas–tidak lagi kolektif dan tidak mengenal lokalitas secara kultural, melainkan bersifat spiritual-individual. Mudik spiritual berlaku bagi setiap muslim tanpa memandang sekat-sekat kesukuan, desa-kota atau bangsawasn-jelata.

Mudik spiritual dalam konteks Idulfitri, yang berarti “kembali kepada fitrah kesucian manusia” secara metafisis bagi seorang Muslim pada prinsipnya bersyarat. Salah satunya adalah dengan melakukan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh –puasa dalam konteks ini bisa dikategorikan sebagai tangga yang harus ditempuh dalam proses “mudik spiritual” yang berpuncak pada Idulfitri (bersih diri).

Mudah-mudahan mudik tahun 2020 kali ini, benar-benar bersih, termasuk bersih diri dari pandemi virus corona. Sebab, masih sangat dikhawatirkan kaum pemudik berpeluang menjadi carrier, pembawa virus mematikan ini. Meskipun ada larangan untuk mudik, sepertinya tradisi budaya tahunan ini akan tetap berjalan, meski eskalasinya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Baca juga Fitrah Manusia Menurut Al-Qur’an, Dalil dan Ayatnya

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X juga Instagram dan Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button