I’tikaf Menurut Imam Syafi’i: Pengertian, Kedudukan dan Tempat

I’tikaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki ketentuan khusus, kedudukan dan syarat, baik waktu maupun tempat menurut pendapat Imam Syafi’i.
Dalam Kitab Tafsir Ayat Ahkam, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskannya sehigga memudahkan kita untuk memahami makna dan pengertian dari I’tikaf.
Pengertian dan Dalil I’tikaf
Imam Syafi’i membagi I’tikaf ke dalam 2 pengertian , yaitu secara bahasa (etimolgi) dan secara Syara (Syari’at). Secara bahasa, I’tikaf adalah menetapi dan menahan diri padanya, untuk sesuatu yang baik ataupun buruk.
Makna i’tikaf ini merujuk kepada ayat Al-Qur’an sebagai dalil sebagaimana termuat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Kami menyeberangkan Bani Israil (melintasi) laut itu (dengan selamat). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang masih tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa, buatlah untuk kami tuhan (berupa berhala) sebagaimana tuhan-tuhan mereka.” (Musa) menjawab, “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.” (Al Qur’an Surat Al A’raf ayat 138).
Sementara itu, Imam Syafi’i mendefinisikan atau mengartikan I’tikaf secara Syara (Syari’at) sebagai “menetap di Masjid dengan niat untuk ibadah. I’tikaf termasuk bentuk ibadah yang sudah lama menjadi bagian dari ibadah dan syariat Islam. Dua ayat di dalam Al-Qr’an berikut ini merupakan dalil dan landasan dari pengertian, makna dan syarat pensyari’atan ibadah I’tikaf.
Pertama, (Ingatlah) ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan berfirman), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun, sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, mukim (di sekitarnya), serta rukuk (dan) sujud. (Al-Qur’an Surat Al Hajj ayat 16).
Kedua, “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beri’ktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 187).
Kedudukan I’tikaf
Secara lebih tegas, dalil ke tiga pelaksanaan Ibadah I’tikaf tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 125, yang artinya, yaitu: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.
Menurut Imam Syafi’i, I’tkaf adalah bentuk dari ibadah dengan niat dan salah satu tata caranya dengan menetap, berdiam diri tinggal di suatu tempat, dan dalam kurun waktu tertentu. Sebagai referensi lebih lanjut, I’tikaf adalah amalan ibadah sunnah, yang masyhur di bulan Ramadan. Tata cara I’tikaf dengan berdiam diri di masjid dalam jangka waktu tertentu.
Pengertian ini menunjukkan adanya kedudukan sekaligus syarat dalam menjalankan ibadah I’tikaf. Kedudukan I’tikaf jelas sebagai Ibadah Sunnah, ibadah yang berlipat pahala bagi yang melaksanakannya. Keudukan I’tikaf secara lebih rinci sebagai berikut:
- Sebagai sarana secara khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT;
- I’tikaf sebagai momentum memohon pahala dan keberkahan kepada Allah SWT;
- Menjalankan ibadah I’tikaf untuk dan dalam rangka meraih lailatul qadar, di bulan Ramadhan, malam yang lebih mulia dari seribu bulan;
- Melaksanakan I’tikaf untuk tujuan mengisolasi dan mengasingkan diri (menghindarkan diri) dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi dalam beribadah, terutama ibadah Puasa Ramadhan, dan:
- I’tikaf berkedudukan sebagai ikhtiar untuk memperbanyak ibadah kepada Allah SWT, selain ibadah-ibadah tertentu lainnya.
Syarat I’tikaf, Harus di Masjid
Saat memperjelas pandangan Imam Syafi’i tentang I’tikaf, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni memerinci apakah syarat I’tikaf harus di suatu tempat. yaitu harus di dalam Masjid. Menurut Ali Ash-Shabuni, ada perbedaan pendapat tentang Masjid manakah yang boleh untuk melaksanakan Iktikaf. Dalam hal ini ada 3 (tiga) beberapa pendapat, yaitu:
Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa I’tikaf hanya dilakukan di 3 (tiga) Masjid, yaitu di Masjidil Haram, Majid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Pendapat mereka ini merujuk pada Hadits Rasulillah Muhammad SAW, yang artinya: “Tidak boleh dituju melainkan tiga buah masjid (yaitu Masjidil Haram, Majid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Pendapat ini merupakan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyib.
Baca juga: Makna Masjidil Haram di Dalam Al-Qur’an
Kedua, sebagian ulama juga berpendapat, tidak ada f’tikaf melainkan di Masjid yang biasa menjadi tempat untuk Shalat berjamaah. Sahabat Ibnu Mas’ud menriwayatkan pendapat ini. Dan Imam Malik mengambil pendapat tersebut dalam madzhabnya.
Ketiga, mayoritas ulama berpendapat, boleh I’tikaf di masjid di mana saja mengingat sifat keumuman ayat “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Menurut Ali Ash-Shabuni, pendapat inilah yang benar karena ayat ini tidak menentukan Masjid tertentu sehingga kata (Masjid) tersebut tetap pada sifat keumuman lafadznya.
Sementara itu, Abu Bakar Al-Jashash menyatakan: Para ulama sepakat, bahwa di antara syarat i’tikaf harus di dalam masjid. Perbedaan pendapat yang timbul di antara mereka hanya tentang, apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja.
Melihat zhahir firman Allah “sedang kamu beritikaf di masjid” membolehkan i’tikaf di semua masjid karena keumuman lafalnya. Maka, siapa yang mengkhususkan makna ayat itu hendaknya menunjukkan dalilnya. Demikian juga mengkhususkan hanya masjid-masjid Jami’ saja juga tidak ada dalilnya.
Lalu bagaimana Hukum Ibadah Iktikaf? Apakah Iktikaf harus bersamaan dengan berpuasa? Berapa lama waktu untuk melaksanakan ibadah I’tikaf ? (bersambung)