Idulfitri Menjaga dan Meneguhkan Fitrah Berketuhanan

Dalam fitrahnya, manusia adalah mahluk yang berketuhanan, lalu bagaimana Idulfitri bisa menjadi momen untuk meneguhkan dan menjaga fitrah berketuhanan ?

Mari sejenak tundukkan kepala untuk merenungkan kembali tentang hakikat Idulfitri yang setiap tahun kita rayakan. Renungan ini penting agar pada setiap perayaan Idulfitri, kita tidak dilalaikan dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Ada beragam definisi tentang fitrah sesuai dengan objek ang disandarkan kepada fitrah itu sendiri. Namun, secara umum fitrah dipahami sebagai kondisi asali manusia yang suci dan bersih.

Kondisi ini bersifat azali, nun jauh di alam arwah (ruh). Jauhnya tak terbilang dengan angka dalam jarak tempuh. Fitrah juga bisa dipahami dalam perspektif alam nalar manusia. Ilmu psikologi mengenalkan fitrah sebagai potensi bawaan yang terpendam dalam diri manusia.

Baca juga: Fitrah Manusia Menurut Al-Qur’an, Dalil dan Ayatnya

Idulfitri, secara harfiah bermakna “kembalinya manusia kepada kondisi asal yang suci dan bersih”. Dinyatakan “kembali”, karena pada hakikatnya, kondisi Fitrah itu konstan, tetap adanya. Namun, disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, fitrah bisa mengalami perubahan.

Perubahan bisa berupa kemelencengan, hingga hilangnya Fitrah dari diri manusia. Itu sebabnya, Kita kadang mendengar ungkapan; manusia berpotensi untuk kehilangan fitrahnya. Seseorang sudah kehilangan fitrahnya.

Atau seseorang sudah jauh dari fitrahnya, sehingga perlu usaha untuk mengembalikannya agar bisa meraih kembali fitrah itu. Di sini, Idulfitri menjaga fitrah berketuhanan menemukan momentumnya.

Fitrah Berketuhanan

Dalam fitrahnya, manusia adalah mahluk yang berketuhanan, yang berarti bahwa sampai kapanpun, dalam kondisi apapun dan di manapun berada, manusia adalah mahluk yang mengakui adanya Tuhan. Manusia dalam fitrahnya, “tidak mungkin tidak mengakui adanya Tuhan”.

Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al A’raf ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Baca juga: Fitrah Manusia Sebagai Makhluk Berketuhanan

Sebagai mahluk berketuhanan, kita menyatakan dan meyakininya dengan pernyataan Tauhid, yaitu dengan mengesakan Allah SWT. Tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT.

Tauhid dan Iman

Fitrah berketuhanan ini mencerminkan keadaan manusia di mana dirinya sepenuh hati berada dalam kesadaran bahwa Allah SWT selalu hadir dalam dirinya, dan bahwa ke mana pun menghadapkan wajah, di situ ada wajah Allah SWT. Ini sikdap tauhid dan iman.

Sikap Tauhid dan pernyataan keimanan ini harus djaga dan dipertahankan dari segala godaan yang bisa merusak ketauhidan. Kita jangan sekali-kali terjebak ke dalam kemusyrikan yang nyata; dengan menuhankan benda, menuhankan sesama makhluk. Jangan pula menuhankan paham, pemikiran, aliran, identitas, yang menyebabkan kita keluar dari fitrah ini.

Saat ini banyak hal-hal yang bisa menyeret manusia untuk melupakan Allah SWT. Fitrah berketuhanan bisa tergerus oleh bentuk-bentuk penghambaan dan pengabdian kepada selain Allah SWT. Ia bisa berupa pangkat, jabatan, harta, kekuasaan, ideologi dan bentuk-bentuk penghambaan semu lainnya.

Baca juga: Cara Berjabat Tangan Setelah Shalat dan Khutbah Idulfitri

Masih banyak kalangan dan golongan atau kaum yang meragukan karakter azali fitrah berketuhanan dalam diri manusia. Mereka meragukanm mendebat hingga menggugat bahkan sampai mengingakari. Mereka adalah kaum yang menganut ideologi atheisme dan komunisme.

Dengan jargon menegasikan adanya Tuhan, tidak mengakui adanya Tuhan, namun pada proses penagasian itu sendiri tercermin adanya pengakuan mereka terhadap akan Tuhan. Di sinilah letak kekuatan adi-kodrati Tuhan, Allah SWT, yang kepadaNya, umat Islam menyembah, menghambakan diri.

Menjaga Fitrah Berketuhanan

Ada saat di mana sebagai manusia kita merasa dekat dengan Allah SWT. Namun ada saatnya kita merasa jauh dari Allah SWT. Jika kondisi merasa jauh ini tidak kita kendalikan, ia berpotensi untuk semakin menjauhkan diri.

Oleh sebab itu, kita tempuh beberapa cara agar kedekatan dengan Allah SWT tetap terjaga. Yang bisa kita upayakan secara terus menerus adalah menjaga fitrah berketuhanan itu, dengan beberapa ihtiar sebagai berikut.

Pertama, meyakini sepenuhnya kebenaran perjanjian azali antara Allah SWT dengan manusia seperti terungkap dalam kalimat Alastu Birobbikum… Balaa Syahidna. Perjanjian dan persaksian ini akan tetap ada pada tempatnya, dan harus kita pertahankan sampai ajal tiba sehingga kita mati.

Kita semua menghendaki mati sebagai golongan “Min Ahli Laa Ilaha Illallaah. Dan kelak di akhirat, kita bisa mempertanggung-jawabkan persaksian Kita itu di hadapan Allah SWT.

Kedua, istiqomah dengan shalat dan membaca Al-Qur’an. Ada ungkapan menarik; jika engkau hendak berbicara kepada Allah SWT, maka shalatlah. Dan jika engkau menghendaki Allah berbicara kepadamu, maka bacalah Al-Qur’an.

Dengan memperbanyak mendengar atau membaca kalam Allah yaitu Al-Qur’an, dan dengan melaksanakan shalat secara lebih berkualtas, kita akan ada pada kondisi yang terus “berdialog dan berbicara” dengan Allah dalam keseharian kita.

Ketiga, puasa. “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung” (HR Bukhari). Puasa, termasuk puasa Ramadhan, adalah media “komunikasi” ruhani manusia dengan Allah SWT.

Dan jika benar melakukannya dengan iman dan penuh pengharapan, bukan mustahil puasa menjadi wasilah keterjagaan fitrah berketuhanan dalam diri manusia.

Meneguhkan Kesadaran Berketuhanan

Dengan demikian, hanya jika manusia berada dalam “kesadaran berketuhanan” lah keadaan fitrahnya dapat ia raih, ia pahami dan ia rasakan. Itu bisa dipahami dan dirasakan terutama ketika berada dalam kesendirian (lonelines). Atau ketika berada di segenap segmen kehidupan dan di “jalan-jalan” yang menuju ke arah pembumian etika dan tindakan dalam kesadaran berketuhanan.

Ketika pikiran mulai tenang, ketika bisa mengatasi diri dari kesibukkan adi-duniawi dan hingar bingar nuansa materialisme, akan terdengar suara nurani yang mengajak kita untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Hadir (The Omnipresent), yaitu Allah SWT.

Kesadaran yang demikian itu akan mengantarkan kita pada usaha untuk menyadari lebih lanjut betapa lemahnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya, dan betapa kekuasaan dan keperkasaan-Nya melintasi ruang dan waktu.

Baca juga: Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Makna dan Pengertian

Suara yang terdengar itu adalah suara fitrah kemanusiaan; suara kesucian-kemanusiaan. Suara itulah yang terucap pada setiap saat diri seorang Muslim menghadap-Nya. Yaitu Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, Walillahi Alhamd, yang berkumandang saat perayaan Idulfitri.

Semoga Idulfitri bisa terus menjaga dan meneguhkan fitrah berketuhanan kita. Lalu, yang ada kemudian adalah totalitas kehambaan manusia yang sesungguhnya. Yang sangat kecil melebihi kecilnya molekul di hadapan kebesaran dan keperkasaan Tuhan Pencipta Semesta alam.

Terima kasih untuk Anda berkenan menemukan Kami di X Twitter juga Instagram dan Facebook

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button