Dari Alienasi Sosial Ke Alienasi Media Sosial
Seperti akan terlihat di bawah nanti, ada dua fenomena alienasi, baik alienasi sosial maupun alienansi media sosial. Ada masa ketika individu mengalami alienasi sosial, merasa terasing dan atau tersingkir dari sahabat, keluarga dan masyarakat.
Orang kemudian mencari alternatif, mengisi ruang kosong itu dengan memanfaatkan media sosial. Berhasilkah alienasi itu diatasi melalui media sosial?
Alienasi sosial melanda masyarakat modern yang disibukkan dengan sekian banyak agenda kehidupan. Kesibukan karena pekerjaan adalah salah satu contohnya. Waktu yang digunakan untuk bekerja, menyita banyak kesempatan untuk bertemu dengan keluarga, karena pertemuan-pertemuan tergantikan oleh rapat-rapat instansi pekerjaan.
Kesempatan untuk bertemu dengan sahabat di luar pekerjaan juga tersita, karena harus mengagendakan week end bersama keluarga. Sementara week end juga bisa saja tersita karena harus memenuhi outdoor gathering di jaringan pekerjaan yang biasanya dilakukan pada saat libur pekerjaan.
Ketika Media Sosial hadir menjadi alternatif jawaban atas problem alienasi sosial, ia bergerak sangat massif menembus jejering sosial yang nyata dan memberikan harapan terisinya kembali ruang-ruang kosong karena alienasi.
Media sosial di ruang maya, hadir, dimasuki, dikelola dan dimanfaatkan layaknya ruang di dunia nyata. Karena di dalam dunia maya memungkinkan untuk ditemukannya hampir semua jawaban akan kebutuhan di dunia nyata.
Akan tetapi, tanpa disadari, media sosial juga ternyata menghadirkan alienasi sosial baru justeru ketika dunia maya menjadi semakin nyata. Salah satu yang bisa kita bidik adalah pertemanan, perkawanan, persahabatan; sesuatu yang untuk kurun waktu berabad-abad, dijalin dalam peradaban nyata umat manusia.
Untuk kita renungkan; di akun media sosial, berapa jumlah teman yang anda miliki? berapa pula jumlah sahabat dekat yang anda miliki? Apakah anda merasakan bahwa kehadiran mereka memberi manfaat buat kehidupan anda? Atau sebaliknya, mendatangkan madlarat? Dari ribuan, ratusan, atau puluhan sahabat, berapa yang “nge-Like” setiap anda mengunggah status? Berapa pula yang memberikan komentar atau tanggapan atas status anda? Bagaimana kualitas komentar mereka? Serius? Bercanda? Atau sekedar numpang lewat?
Profesor Robin Dunbar dari Oxford University, Inggris, menyatakan; “Jika Anda mencari sahabat sejati, maka mencarinya di media sosial merupakan langkah yang salah. Ratusan atau ribuan sahabat yang Anda miliki di media sosial, sama sekali tak menjamin Anda mendapatkan sahabat sejati dari sana.”
Pernyataan tersebut disimpulkan dari sebuah penelitian terhadap 35.000 orang pengguna media sosial dengan rata-rata responden memiliki 155 sd 158 orang sahabat.
Ketika responden ditanya, “Saat memiliki masalah dan mengunggahnya ke kronologi Facebook, berapa jumlah sahabat yang menawarkan bantuan?”, jawaban yang ditemukan sangat miris “hanya ada 14 orang yang menyatakan simpati dan hanya ada 4 orang sahabat yang tulus menawarkan bantuan”.
Professor Dunbar mengatakan, “Responden yang memiliki jaringan luas namun tidak berpengaruh pada jumlah sahabat dekat, justru menurunkan jumlah orang dalam lingkaran persahabatan mereka. Sebab, hampir tiap media sosial tidak memungkinkan seseorang membuat banyak lapisan”.
Singkatnya, Dunbar menyimpulkan bahwa media sosial justeru menurunkan kualitas persahabatan. Persahabatan yang berawal dari media sosial hanya berfungsi dengan baik, apabila Anda dan sahabat terus berkomunikasi rutin. Jika tidak demikian, sahabat media sosial dapat berubah menjadi persahabatan semu, ‘hanya sebatas kenalan’ , apabila tidak ada interaksi langsung untuk merawatnya.
Meski terdengar klise dan biasa, hampir semua orang akan setuju bahwa sahabat adalah mereka yang kita pilih untuk menjadi bagian dari hidup kita. Terkadang ada hal yang tidak bisa kita rasakan saat bersama keluarga, namun bisa kita rasakan saat bersama dengan sahabat kita, meski perbedaannya cukup tipis.
Terkadang, membayangkan diri kita hidup tanpa seorang sahabat akan terasa sangat menyeramkan sekaligus menyedihkan. Namun bagi sebagian orang, mereka memiliki karakteristik tersendiri untuk mengklasifikasikan seseorang sebagai sahabat ’sejati’, sedikit lebih ’spesial’ dari sahabat biasa.
Hal ini bisa saja disebabkan oleh banyak hal yang membuat kita merasa jauh lebih bahagia dan nyaman bersama mereka, ketimbang dengan sahabat yang lain. Kita merasa membutuhkan sahabat sejati. Karena sifat kesejatiannya, maka ia identik dengan kenyataannya. Sahabat sejati hampir mustahil didapatkan dari dunia yang semu, yang tidak nyata dan maya.
Sahabat sejati dan nyata, hanya bisa didapatkan dari kesejatian dan kenyataan di dunia nyata; dari komunikasi yang intens dalam pertemuan langsung, bukan yang dimediasi dengan media sosial; dari keterlibatan yang nyata sehingga kehangatannyapun benar-benar terasa; dari waktu yang sebenarnya diperuntukkan untuk hal itu, bukan waktu yang disisipkan sehingga sesaat dan selintas; dari kebahagiaan yang diciptakan bersama, buka dari kesenangan sesaat yang segera hilang saat koneksi jaringan terputus.
Jika kita sempat mengidealkan bahwa media sosial menjadi alternatif mengisi ruang-ruang alienasi sosial, maka kita harus menyadari sejak dini, bahwa media sosial juga berpotensi menggiring kita ke lubang alienasi sosial yang berkelanjutan.
Betapa banyak gejala orang yang semakin merasakan jauhnya orang-orang di sekitar kita, karena pada saat yang sama, kita terhubung dengan orang-orang di luar sana melalui media sosial. Jika anda termasuk “orang-orang” tersebut, segeralah bangun untuk menguatkan kerangka kehidupan sosial yang lebih nyata, sebelum anda benar-benar merasakan double alienasi; teralienasi di dunia nyata sekaligus di dunia maya.